- Setelah shubuh sampai terbitnya matahari.
- Sejak terbitnya matahari sampai naik setinggi tombak (± 10 derajat dari permukaan bumi)
- Ketika matahari rembang / di tengah-tengah / di atas kepala hingga condong sedikit ke Barat
- Setelah ‘Ashar sampai matahari menguning (hamper tenggelam).
- Sejak menguningnya matahari sehingga terbenam sempurna.
Waktu-waktu terlarang di atas didasarkan kepada beberapa dalil berikut ini:
- Hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu 'anhuma, ia berkata, “Beberapa orang yang aku percaya dan dipercaya oleh Umar bersaksi bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam melarang shalat setelah Shubuh sehingga matahari terbit dan sesudah ‘Ashar sehingga matahari tenggelam.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
- Hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiyallaahu 'anhu, ia berkata, Aku mendengar Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda, “Tidak ada shalat sesudah Shubuh hingga matahari meninggi dan tidak ada shalat sesudah ‘Ashar hingga matahari tenggelam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
- Hadits Ibnu Umar radhiyallaahu 'anhuma, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda, “Apabila terbit matahari, maka akhirkan shalat sehingga matahari meninggi. Dan apabila matahari mulai tenggelam sehingga benar-benar menghilang.” (HR. Bukhari dan Muslim)
- Hadits ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallaahu 'anhu, ia berkata: “Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam melarang kami mengerjakan shalat atau menguburkan mayat kami pada tiga waktu: Ketika matahari terbit hingga naik, saat tengah hari sehingga matahari tergelincir, dan ketika matahari akan tenggelam sehingga tenggelam.” (HR. Muslim)
Shalat yang dilarang pada waktu-waktu tersebut adalah shalat sunnah murni yang tidak ada sebabnya. Pada waktu-waktu ini diperbolehkan untuk mengqadha shalat-shalat yang terlewatkan, baik wajib maupun sunnah.
Dalilnya adalah berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
Artinya:
“Barangsiapa lupa terhadap suatu shalat, maka hendaklah ia shalat ketika ingat. Tidak ada kaffarat baginya kecuali (shalat) itu.”
Dalilnya adalah berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ نَسِىَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا لاَكَفَّرَةَ لَهَا إِلاَّ ذلِكَ.
Artinya:
“Barangsiapa lupa terhadap suatu shalat, maka hendaklah ia shalat ketika ingat. Tidak ada kaffarat baginya kecuali (shalat) itu.”
Alasan dari larangan
Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam menjelaskan alasan dilarangnya shalat pada waktu-waktu tersebut berdasarkan sabdanya kepada Amr bin ‘Abasah al-Sulami:
صَلِّ صَلَاةَ الصُّبْحِ ثُمَّ أَقْصِرْ عَنْ الصَّلَاةِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ حَتَّى تَرْتَفِعَ فَإِنَّهَا تَطْلُعُ حِينَ تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ وَحِينَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ ثُمَّ صَلِّ فَإِنَّ الصَّلَاةَ مَشْهُودَةٌ مَحْضُورَةٌ حَتَّى يَسْتَقِلَّ الظِّلُّ بِالرُّمْحِ ثُمَّ أَقْصِرْ عَنْ الصَّلَاةِ فَإِنَّ حِينَئِذٍ تُسْجَرُ جَهَنَّمُ فَإِذَا أَقْبَلَ الْفَيْءُ فَصَلِّ فَإِنَّ الصَّلَاةَ مَشْهُودَةٌ مَحْضُورَةٌ حَتَّى تُصَلِّيَ الْعَصْرَ ثُمَّ أَقْصِرْ عَنْ الصَّلَاةِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَإِنَّهَا تَغْرُبُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ وَحِينَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ
Artinya:
“Kerjakan shalat Shubuh, kemudian jangan kerjakan shalat hingga matahari terbit dan meninggi. Karena (saat itu) matahari terbit di antara dua tanduk syetan dan saat itu pula orang-orang kafir bersujud kepadanya. Setelah itu silahkan mengerjakan shalat (sunnah) karena shalat itu disaksikan dan dihadiri (oleh Malaikat) sehingga bayangan tegak lurus (tengah hari). (Saat itu) jangan kerjakan shalat, karena neraka sedang dinyalakan. Jika bayangan telah condong, silahkan kerjakan shalat karena shalat disaksikan dan dihadiri (oleh Malaikat) sehingga engkau mengerjakan shalat ‘Ashar. Sesudah itu janganlah engkau mengerjakan shalat hingga matahari terbenam. Sesungguhnya matahari terbenam di antara dua tanduk syetan dan ketika itu orang-orang kafir bersujud kepadanya.” (HR. Muslim)
Dilarang Shalat Sunnah setelah Iqamat
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا أُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ فَلاَ صَلاَةَ إِلاَّ الْمَكْتُوْبَةَ.
Artinya:
“Jika iqamat shalat sudah dikumandangkan, maka tidak ada shalat selain shalat wajib.”
Dikecualikan dari Larangan Ini Waktu dan Tempat Tertentu
Adapun waktu, adalah ketika matahari berada tepat di atas pada hari Jum’at:
Dalilnya adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لاَ يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَتَطَهَّرَ مَـا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ وَيُدَهِّنُ مِنْ دُهْنٍ أَوْ يَمُسُّ مِنْ طِيْبِ بَيْتِهِ، ثُمَّ يَخْـرُجُ فَلاَ يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنَيْنِ، ثُمَّ يُصَلِّى مَا كُتِبَ لَهُ، ثُمَّ يُنْصِتْ إِذَا تَكَلَّمَ اْلإِمَامُ، إِلاَّ غُفِرَ لَهُ، مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ اْلأُخْرَى.
Artinya:
“Tidaklah seseorang mandi pada hari Jum’at, lantas bersuci sebaik-baiknya, mengenakan minyak rambut, atau mengenakan minyak wangi rumahnya. Kemudian keluar dan tidak memisahkan antara dua orang, lalu shalat sunnah semampunya. Setelah itu ia diam ketika imam berkhutbah, melainkan akan diampuni dosa-dosanya antara Jum’at yang satu dengan Jum’at yang lain.”
Beliau menganjurkan shalat sunnah semampunya dan tidak melarang kecuali setelah keluarnya imam. Oleh sebab itu, banyak ulama terdahulu, di antaranya ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu, yang kemudian diikuti oleh al-Imam Ahmad bin Hanbal, mengatakan bahwa keluarnya imam menghentikan shalat, dan khutbahnya menghentikan perkataan. Mereka menjadikan keluarnya imam sebagai penghalang shalat, bukan pertengahan siang.
Adapun pengecualian tempat adalah, Makkah -semoga Allah menambah kemuliaan dan keagungannya-. Karena Allah Ta’ala telah melebihkannya dengan kemuliaan dan keagungan. Shalat di sana tidak ada yang dimakruhkan pada waktu-waktu tadi.
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Bani ‘Abdi Manaf, janganlah kalian menghalangi siapa pun yang melakukan thawaf dan shalat di Baitullah ini kapan saja. Baik malam maupun siang hari.”
Shalat setelah selesai wudhu’ juga boleh untuk dilakukan kapan saja.
Dalilnya adalah berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, di mana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata pada Bilal ketika Shubuh, “Wahai Bilal, beritahulah aku amalan yang paling engkau harapkan (pahalanya) yang engkau kerjakan dalam Islam. Karena sesungguhnya aku mendengar suara kedua sandalmu berada di depanku dalam Surga.” Bilal menjawab, “Tidaklah aku melakukan suatu amalan yang paling kuharapkan (pahalanya). Hanya saja, tidaklah aku bersuci, baik saat petang maupun siang, melainkan aku shalat sunnah dengannya.”
Diperbolehkan juga shalat tahiyyatul masjid.
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلاَ يَجْلِسْ حَتَّى يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ.
Artinya:
“Jika salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka janganlah duduk hingga shalat dua raka’at.”
Referensi: www.voa-islam.com, almanhaj.or.id
No comments:
Post a Comment