Do'a Menangkal Wabah Penyakit

بِسْمِ اللّٰهِ اَلَّذِي لَا يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ دَاعٌ

"Bismillahilladzi laa yadhurru ma'asmihhi daa'"

Artinya:
Dengan nama Allah yang tidak bisa membahayakan penyakit dengan nama-Nya
(Syekh Muhammad Fathurahman, M.Ag)

Hari-hari Terlarang Berpuasa

Puasa merupakan salah ibadah dalam agama islam, namun perlu diketahui ada beberapa hari yang dilarang untuk puasa.

1. Hari Idul Fithri dan Idul Adha

Dari bekas budak Ibnu Azhar, dia mengatakan bahwa dia pernah menghadiri shalat ‘ied bersama ‘Umar bin Al Khottob –radhiyallahu ‘anhu-. ‘Umar pun mengatakan,

هَذَانِ يَوْمَانِ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – عَنْ صِيَامِهِمَا يَوْمُ فِطْرِكُمْ مِنْ صِيَامِكُمْ ، وَالْيَوْمُ الآخَرُ تَأْكُلُونَ فِيهِ مِنْ نُسُكِكُمْ

“Dua hari ini adalah hari yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam larang untuk berpuasa di dalamnya yaitu Idul Fithri, hari di mana kalian berbuka dari puasa kalian. Begitu pula beliau melarang berpuasa pada hari lainnya, yaitu Idul Adha di mana kalian memakan hasil sesembelihan kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Sa’id Al Khudri –radhiyallahu ‘anhu-, beliau mengatakan,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ صِيَامِ يَوْمَيْنِ يَوْمِ الْفِطْرِ وَيَوْمِ النَّحْرِ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berpuasa pada dua hari yaitu Idul Fithri dan Idul Adha.” (HR. Muslim)

2. Hari-hari Tasyriq (11, 12 dan 13 Dzulhijah)

Tidak boleh berpuasa pada hari tasyriq menurut kebanyakan pendapat ulama, alasannya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ

“Hari-hari tasyriq adalah hari makan dan minum.” (HR. Muslim).

Imam Nawawi rahimahullah memasukkan hadits ini di Shahih Muslim dalam Bab “Haramnya berpuasa pada hari tasyriq”.

Imam Nawawi rahimahullah dalam Al Minhaj Syarh Shahih Muslim mengatakan, “Hari-hari tasyriq adalah tiga hari setelah Idul Adha. Hari tasyriq tersebut dimasukkan dalam hari ‘ied. Hukum yang berlaku pada hari ‘ied juga berlaku mayoritasnya pada hari tasyriq, seperti hari tasyriq memiliki kesamaan dalam waktu pelaksanaan penyembelihan qurban, diharamkannya puasa (sebagaimana pada hari ‘ied, pen) dan dianjurkan untuk bertakbir ketika itu.” (Syarh Shahih Muslim, 6: 184). Hari tasyriq disebutkan tasyriq (yang artinya: terbit) karena daging qurban dijemur dan disebar ketika itu (Syarh Shahih Muslim, 8: 17).

Imam Malik, Al Auza’i, Ishaq, dan Imam Asy Syafi’i dalam salah satu pendapatnya menyatakan bahwa boleh berpuasa pada hari tasyriq pada orang yang tamattu’ jika ia tidak memperoleh al hadyu (sembelihan qurban). Namun untuk selain mereka tetap tidak diperbolehkan untuk berpuasa ketika itu. (Syarh Shahih Muslim, 8: 17). Dalil dari pendapat ini adalah sebuah hadits dalam Shahih Al Bukhari dari Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah, mereka mengatakan,

لَمْ يُرَخَّصْ فِى أَيَّامِ التَّشْرِيقِ أَنْ يُصَمْنَ ، إِلاَّ لِمَنْ لَمْ يَجِدِ الْهَدْىَ

“Pada hari tasyriq tidak diberi keringanan untuk berpuasa kecuali bagi orang yang tidak mendapat al hadyu ketika itu.” (HR. Bukhari).

3. Puasa Hari Jum’at Secara Bersendirian

Tidak boleh berpuasa pada Jum’at secara bersendirian. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَصُمْ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ إِلاَّ أَنْ يَصُومَ قَبْلَهُ أَوْ يَصُومَ بَعْدَهُ

“Janganlah salah seorang di antara kalian berpuasa pada hari Jum’at kecuali jika ia berpuasa pada hari sebelum atau sesudahnya.” ( HR. Bukhari dan Muslim).

Dari Juwairiyah binti Al Harits –radhiyallahu ‘anha-, ia mengatakan,

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – دَخَلَ عَلَيْهَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَهْىَ صَائِمَةٌ فَقَالَ « أَصُمْتِ أَمْسِ » . قَالَتْ لاَ . قَالَ « تُرِيدِينَ أَنْ تَصُومِى غَدًا » . قَالَتْ لاَ . قَالَ « فَأَفْطِرِى »

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki rumahnya pada hari Jum’at dan ia sedang berpuasa. Lalu beliau bertanya, “Apakah engkau berpuasa kemarin?” “Tidak”, jawab Juwairiyah. Beliau bertanya kembali, “Apakah engkau ingin berpuasa besok?” “Tidak”, jawabnya seperti itu pula. Beliau kemudian mengatakan, “Hendaknya engkau membatalkan puasamu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Catatan: Puasa pada hari Jum’at dibolehkan jika:

  1. Ingin menunaikan puasa wajib, mengqodho’ puasa wajib, membayar kafaroh (tebusan) dan sebagai ganti karena tidak mendapatkan hadyu tamattu’.
  2. Jika berpuasa sehari sebelum atau sesudah hari Juma’t sebagaimana diterangkan dalam hadits di atas.
  3. Jika bertepatan dengan hari puasa Daud (sehari puasa, sehari berbuka).
  4. Berpuasa pada hari Jum’at bertepatan dengan puasa sunnah lainnya seperti puasa Asyura, puasa Arofah, dan puasa Syawal.


4. Berpuasa pada Hari Syak (Yang Meragukan)

Yang dimaksud di sini adalah tidak boleh mendahulukan puasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan dalam rangka hati-hati mengenai masuknya bulan Ramadhan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدٌ الشَّهْرَ بِيَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ أَحَدٌ كَانَ يَصُومُ صِيَامًا قَبْلَهُ فَلْيَصُمْهُ

“Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari sebelumnya, kecuali bagi seseorang yang terbiasa mengerjakan puasa pada hari tersebut maka berpuasalah.” (HR. An Nasai)

Dalam hadits lainnya, dari ‘Ammar bin Yasir disebutkan,

مَنْ صَامَ الْيَوْمَ الَّذِي يُشَكُّ فِيهِ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Barangsiapa berpuasa pada hari yang meragukan, maka ia berarti telah mendurhakai Abul Qosim, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. An Nasai no. 2188, At Tirmidzi no. 686, Ad Darimi no. 1682, Ibnu Khuzaimah no. 1808)

Catatan: Berpuasa pada hari meragukan ini dibolehkan jika:

  1. Untuk mengqodho’ puasa Ramadhan.
  2. Bertepatan dengan kebiasaan puasanya seperti puasa Senin Kamis atau puasa Daud.

5. Berpuasa Setiap Hari Tanpa Henti (Puasa Dahr)

Yang dimaksud puasa Dahr adalah berpuasa setiap hari selain hari yang terlarang puasa (yaitu hari ‘ied dan hari tasyriq).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ صَامَ مَنْ صَامَ الأَبَدَ لاَ صَامَ مَنْ صَامَ الأَبَدَ لاَ صَامَ مَنْ صَامَ الأَبَدَ

“Tidak ada puasa bagi yang berpuasa setiap hari tanpa henti. Tidak ada puasa bagi yang berpuasa setiap hari tanpa henti. Tidak ada puasa bagi yang berpuasa setiap hari tanpa henti.” (HR. Muslim)

Hadits di atas menunjukkan terlarangnya berpuasa setiap hari tanpa henti walaupun tidak ada kesulitan dan tidak lemas ketika melakukannya.

Begitu pula tidak boleh berpuasa setiap hari sampai-sampai melakukannya pada hari yang terlarang untuk berpuasa. Yang terakhir ini jelas haramnya.

Yang paling maksimal adalah melakukan puasa Daud yaitu sehari berpuasa dan sehari berbuka. Inilah rukhsoh (keringanan) terakhir bagi yang ingin terus berpuasa. Hadits larangan puasa Dahr tadi asalnya ditujukan pada Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash. Namun sebagaimana disebutkan dalam riwayat Muslim bahwa di akhir hidupnya Abdullah bin ‘Amr menjadi lemas karena kebiasaannya melakukan puasa Dahr. Ia pun menyesal karena tidak mau mengambil rukhsoh dengan cukup melakukan puasa Daud. (Syarh Shahih Muslim, 8: 40).

Do'a Iftitah yang Diajarkan Nabi

Do'a iftitah adalah doa dalam sholat yang dibaca setelah takbiratul ihram, sebelum membaca Surat Al Fatihah. Dari hadits-hadits shahih, kita mendapatkan doa iftitah yang diajarkan Rasulullah ternyata cukup banyak. Ada yang pendek, ada yang cukup panjang. Intinya adalah memuji Allah, memuliakan dan menyanjung-Nya.

Dengan mengetahui beragamnya do'a iftitah ini, diharapkan tidak ada kaum muslimin yang menyalahkan perbedaan bacaan do'a iftitah. Sepanjang ia memiliki dalil.


Hukum Do'a Iftitah

Hukum membacaa do'a iftitah adalah sunnah. Meskipun demikian, sholat tidak sempurna tanpa doa iftitah. Sebagaimana sabda beliau:

“Sholat seseorang tidak sempurna hingga ia bertakbir memuji Allah dan menyanjungnya kemudian membaca Alquran yang mudah baginya” (HR. Abu Daud dan Hakim)


Macam-Macam Doa Iftitah

Banyak doa iftitah yang bisa kita dapatkan dalam kitab-kitab hadits. Kali ini hanya dijelaskan 8 doa iftitah, yang umumnya digunakan yang kami dapat dari artikel yang dibuat oleh Muchlisin BK dalam web BersamaDakwah.

Berikut ini adalah do'a-do'a iftitah:

1. Doa Iftitah Allahu Akbar Kabiiraa

Doa iftitah ini diriwayatkan oleh Imam Muslim.

اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلاً

"Alloohu akbar kabiirow wal hamdu lillaahi katsiirow wa subhaanalloohi bukrotaw wa ashiilaa"

Artinya:
Allah Maha Besar dengan sebesar-besarnya, segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak. Mahasuci Allah pada waktu pagi dan petang.

Keterangan:
Doa iftitah ini awalnya dibaca oleh seorang sahabat. Selesai sholat, Rasulullah bertanya siapa yang membaca doa tersebut. Setelah sahabat yang membacanya menjawab, beliau bersabda: “Aku merasa kagum dengannya, langit-langit terbuka karena doa iftitah tersebut.”

2. Doa Iftitah Inni Wajjahtu

Lebih singkat dari doa di atas, doa iftitah ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah.

إِنِّى وَجَّهْتُ وَجْهِىَ لِلَّذِى فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ إِنَّ صَلاَتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ

"Innii wajjahtu wajhiya lilladzii fathoros samaawaati wal ardlo haniifaaw wamaa ana minal musyrikiin. Inna sholaatii wa nusukii wamahyaaya wa mamaati lillaahi robbil ‘aalamiin. Laa syariikalahu wabidzaalika wa ana awwalul muslimiin"

Artinya:
Sesungguhnya aku hadapkan wajahku kepada Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam keadaan tunduk dan aku bukanlah dari golongan orang-orang musyrik. Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah Tuhan semesta alam. Tidak ada sekutu bagiNya. Dan dengan yang demikian itu lah aku diperintahkan. Dan aku adalah orang yang pertama berserah diri.

Catatan:
Dalam rujukan lain juga ada yang menjelaskan bacaan do'a iftitah dengan susunan bacaan gabungan antara Allahu Akbar Kabiiraa dan Inni Wajjahtu, diantaranya yang tercantum dalam buku Risalah Tuntunan Shalat Lengkap, Drs. Moh. Rifai, PT. Karya Toha Semarang, 1976

3. Doa Iftitah Allahumma Baid Baini

Doa iftitah ini biasa dibaca Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat sholat wajib. Bacaan doa ini adalah sebagai berikut:

اَللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِى وَبَيْنَ خَطَايَاىَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ . اللَّهُمَّ نَقِّنِى مِنَ الْخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ . اللَّهُمَّ اغْسِلْ خَطَايَاىَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ

"Alloohumma baa’id bainii wa baina khothooyaaya kamaa baa’adta bainal masyriqi wal maghrib. Alloohumma naqqinii minal khothooyaa kamaa yunaqqots tsaubul abyadlu minad danas. Alloohummaghsil khothooyaaya bil maa-i wats tsalji wal barod"

Artinya:
Ya Allah jauhkanlah aku dari dosa-dosaku sebagaimana engkaujauh kan antara timur dan barat. Ya Allah bersihkanlah aku dari dosa-dosaku sebagaimana bersihnya pakaian putih dari kotoran. Ya Allah cucilah aku dari dosa-dosaku dengan air, salju dan embun.

Keterangan:
Doa ini berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim.

4. Doa Iftitah Wajjahtu Wajhiya

Doa iftitah ini kadang dibaca Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat sholat wajib dan kadang dibaca beliau saat sholat sunnah.

وَجَّهْتُ وَجْهِىَ لِلَّذِى فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ حَنِيفًا (مُسْلِمًا) وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ إِنَّ صَلاَتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ اللَّهُمَّ أَنْتَ الْمَلِكُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ. أَنْتَ رَبِّى وَأَنَا عَبْدُكَ ظَلَمْتُ نَفْسِى وَاعْتَرَفْتُ بِذَنْبِى فَاغْفِرْ لِى ذُنُوبِى جَمِيعًا إِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ وَاهْدِنِى لأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِى لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ وَاصْرِفْ عَنِّى سَيِّئَهَا لاَ يَصْرِفُ عَنِّى سَيِّئَهَا إِلاَّ أَنْتَ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِى يَدَيْكَ وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ أَنَا بِكَ وَإِلَيْكَ تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Artinya:
Aku hadapkan wajahku kepada Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam keadaan tunduk (dan menyerahkan diri), dan aku bukanlah dari golongan orang-orang musyrik. Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah Tuhan semesta alam. Tidak ada sekutu bagiNya. Dan dengan yang demikian itu lah aku diperintahkan. Dan aku termasuk orang yang berserah diri.

Ya Allah engkau adalah penguasa. Tiada Tuhan kecuali Engkau Semata. Ya Allah Engkau adalah Tuhanku sedangkan aku adalah hambaMu. Aku telah berbuat aniaya terhadap diriku dan aku telah mengakui dosa-dosaku, maka ampunilah semua dosa-dosaku. Tiada yang dapat mengampuni dosa-dosaku melainkan Engkau.

Tunjukilah aku kepada akhlak yang terbaik. Tiada yang dapat membimbing kepada akhlak yang terbaik melainkan Engkau. Palingkanlah aku dari akhlak yang buruk. Tiada yang dapat memalingkan aku dari akhlak yang buruk melainkan Engkau. Aku penuhi panggilanmu Ya Allah. Aku patuhi perintahMu. Seluruh kebaikan berada dalam tanganmu sedangkan kejelekan apapun tidaklah pantas untuk dinisbatkan kepadaMu. Aku hanya dapat hidup karenaMu dan akan kembali kepadaMu. Maha berkah Engkau Yang Maha Tinggi, aku mohon ampunan dan bertaubat kepadaMu.

Keterangan:
Doa iftitah ini berdasarkan hadits shahih riwayat Imam Muslim. Sedangkan yang berada dalam kurung adalah tambahan dalam lafal hadits yang diriwayatkan Abu Daud.

5. Doa Iftitah Paling Pendek

Doa iftitah ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim. Termasuk doa iftitah paling pendek alias paling singkat.

الْحَمْدُ لِلَّهِ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ

"Alhamdulillaahi hamdan katsiiron thoyyiban mubaarokan fiih"

Artinya:
Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, baik dan penuh berkah

Keterangan:
Seperti doa iftitah di atas, doa iftitah ini awalnya juga dibaca oleh seorang sahabat. Selesai sholat, Rasulullah mensabdakan bahwa 12 malaikat berebut mencatat doa iftitah pendek ini.

6. Doa Iftitah Tahajud

Doa iftitah ini biasa dibaca Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat sholat tahajud.

اَللّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ نُوْرُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ، وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ قَيِّمُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ، وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ، أَنْتَ الْحَقُّ، وَوَعْدُكَ الْحَقُّ، وَقَوْلُكَ الْحَقُّ، وَلِقَاؤُكَ الْحَقُّ، وَالْجَنَّةُ حَقٌّ، وَالنَّارُ حَقٌّ، وَالسَّاعَةُ حَقٌّ،

اَللّهُمَّ لَكَ أَسْلَمْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ، وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ، وَإِلَيْكَ أَنَبْتُ، وَبِكَ خَاصَمْتُ، وَإِلَيْكَ حَاكَمْتُ. فَاغْفِرْ لِيْ مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ، وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ، أَنْتَ الْمُقَدِّمُ وَأَنْتَ الْمُؤَخِّرُ، أَنْتَ إِلٰهِيْ لاَ إِلٰهَ إِلاَّ أَنْتَ

Artinya:
Ya Allah, hanya milik-Mu segala puji, Engkau cahaya langit dan bumi serta siapa saja yang ada di sana. Hanya milikMu segala puji, Engkau yang mengatur langit dan bumi serta siapa saja yang ada di sana. Hanya milikMu segala puji, Engkau pencipta langit dan bumi serta siapa saja yang ada di sana. Engkau Maha benar, janji-Mu benar, firman-Mu benar, pertemuan dengan-Mu benar. Surga itu benar, neraka itu benar, dan kiamat itu benar.

Ya Allah, hanya kepada-Mu aku pasrah diri, hanya kepada-Mu aku beriman, hanya kepada-Mu aku bertawakkal, hanya kepada-Mu aku bertaubat, hanya dengan petunjuk-Mu aku berdebat, hanya kepada-Mu aku memohon keputusan, karena itu, ampunilah aku atas dosaku yang telah lewat dan yang akan datang, yang kulakukan sembunyi-sembunyi maupun yang kulakukan terang-terangan. Engkau yang paling awal dan yang paling akhir. Engkau Tuhanku. Tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau.

Keterangan:
Doa iftitah ini berdasarkan riwayat Imam Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad

7. Doa Iftitah Rabba Jibril

Doa ini juga biasa dibaca Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat sholat tahajud

اللَّهُمَّ رَبَّ جِبْرِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ فَاطِرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ، اهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ إِنَّكَ أَنْتَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

Artinya:
Ya Allah, Tuhannya Jibril, Mikail, dan Israfil. Pencipta langit dan bumi. Yang mengetahui yang gaib dan yang nampak. Engkau yang memutuskan diantara hamba-Mu terhadap apa yang mereka perselisihkan. Berilah petunjuk kepadaku untuk menggapai kebenaran yang diperselisihan dengan izin-Mu. Sesungguhnya Engkau memberi petunjuk kepada siapa saja yang Engkau kehendaki menuju jalan yang lurus.

Keterangan:
Doa iftitah ini berdasarkan riwayat Imam Muslim, Tirmidzi dan Abu Daud

8. Doa Iftitah NU

Doa ini dicantumkan Imam Nawawi dalam Al Adzkar. Bagian pertamanya (sampai wa ana minal muslimin) biasa dibaca di kalangan Nahdliyyin.

اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلاً  . وَجَّهْتُ وَجْهِىَ لِلَّذِى فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ . إِنَّ صَلاَتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ . اللَّهُمَّ أَنْتَ الْمَلِكُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ. أَنْتَ رَبِّى وَأَنَا عَبْدُكَ ظَلَمْتُ نَفْسِى وَاعْتَرَفْتُ بِذَنْبِى فَاغْفِرْ لِى ذُنُوبِى جَمِيعًا إِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ . وَاهْدِنِى لأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِى لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ وَاصْرِفْ عَنِّى سَيِّئَهَا لاَ يَصْرِفُ عَنِّى سَيِّئَهَا إِلاَّ أَنْتَ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِى يَدَيْكَ وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ أَنَا بِكَ وَإِلَيْكَ تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Artinya:
Allah Maha Besar dengan sebesar-besarnya, segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak. Mahasuci Allah pada waktu pagi dan petang.

Aku hadapkan wajahku kepada Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam keadaan tunduk dan berserah diri, dan aku bukanlah dari golongan orang-orang musyrik. Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah Tuhan semesta alam. Tidak ada sekutu bagiNya. Dan dengan yang demikian itu lah aku diperintahkan. Dan aku adalah orang yang pertama berserah diri.

Ya Allah, Engkaulah Dzat yang merajai. Tiada yang berhak disembah selain Engkau, Rabbku. Akulah hamba-Mu. Aku telah menganiaya diriku sendiri. Aku mengakui dosa-dosaku. Maka ampunilah seluruh dosaku. Sebab tidak ada yang mengampuni dosa kecuali Engkau. Berilah aku petunjuk kepada akhlak yang paling mulia yang tidak dapat menunjukkannya kecuali Engkau. Jauhkanlah dariku akhlak buruk yang tidak dapat menjauhkannya kecuali Engkau. Aku mematuhi dan mengikuti perintah-Mu. Segala kebaikan ada di dalam genggaman-Mu. Segala keburukan tidak mengarah kepada-Mu. Aku bersandar dan berlindung kepada-Mu. kebaikanMu semakin bertambah dan Engkau Maha Tinggi. Aku memohon ampunan dan bertaubat kepada-Mu.

Demikian beberapa doa iftitah yang diajarkan Rasulullah maupun yang disusun oleh sahabat kemudian mendapatkan legitimasi dari beliau. Semoga bermanfaat. Wallaahu a’lam bish shawab.

Mengkafankan Mayat / Jenazah

Mengkafankan jenazah hukumnya adalah fardhu kifayah. Mengkafani mayit paling sedikit adalah membungkusnya dengan selembar kain yang dapat menutupi seluruh anggota badan dan menutup kepala (kecuali jenazah adalah seseorang yang sedang ihram dijelaskan pada paragraf selanjutnya).

لِمَا صَحَّ أَنَّ مُصْعَب بْنُ عُمَيْرٍ قُتِلَ يَوْمَ أُحُدٍ وَلَمْ تَكُنْ لَهُ إِلَّا نَمِرَةٌ كُنَّا إِذَا غَطَّيْنَا بِهَا رَأْسَهُ خَرَجَتْ رِجْلَاهُ وَإِذَا غَطَّيْنَا رِجْلَيْهِ خَرَجَ رَأْسُهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَطُّوا بِهَا رَأْسَهُ وَاجْعَلُوا عَلَى رِجْلَيْهِ مِنْ الْإِذْخِرِ (رواه الشيخان)

Diriwayatkan bahwa Mush’ab bin Umair mati shahid dalam perang Uhud, sedangkan ia hanya meninggalkan sehalai kain. Jika digunakan untuk menutup mukanya maka kakinya akan nampak. Jika digunakan untuk menutup kakinya maka mukanya akan nampak. Rasulallah saw bersabda: “Tutupkanlah kain itu pada bagian yang dekat kepalanya dan letakkanlah pada kedua kakinya idzkhir” (HR Bukhari Muslim). Idzkhir adalah sejenis tanaman yang meiliki aroma seperti mawar.

Dalam sebuah hadis diriwayatkan bila mayitnya seorang laki-laki ia dikafani dengan menggunakan tiga lembar kain putih. Memakai kain kafan berwarna putih hukumnya sunah, juga tanpa baju atau kupiah atau sorban (tutup kepala).

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ” كُفِّنَ فِي ثَلَاثَةِ أَثْوَابٍ سَحُوْلِيَّةٍ لَيْسَ فِيهَا قَمِيصٌ وَلَا عِمَامَةٌ (رواه الشيخان)

Dari Aisyah ra, ia berkata: “Rasulullah SAW dikafani dengan menggunakan tiga lapis kain yamani yang berwarna putih tanpa qamis (baju) dan surban.” (HR Bukhari Muslim)

Sunah mengkafani jenazah dengan kain putih juga merujuk sebuah hadits riwayat Imam Turmudzi dari sahabat Ibnu Abas, bahwa Rasulullah bersabda:

البَسُوا مِنْ ثِيَابِكُمُ البَيَاضَ، فَإِنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكُمْ، وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُمْ 

Artinya: “Pakailah pakaianmu yang berwarna putih, karena itu sebaik-baik pakaian kalian, dan kafani mayit kalian dengannya.” (HR. Abu Daud no. 3878, Tirmidzi no. 994, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami no.1236).

Namun dikhususkan bila jenazah adalah seseorang yang sedang ihram, dijelaskan sebagai berikut.


عَنْ ابْنِ خُزَيْمَة أَنَّ رَجُلًا كَانَ مَعَ النَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَوَقَصَتْهُ نَاقَتُهُ وَهُوَ مُحْرِمٌ، فَمَاتَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اغْسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ، وَكَفِّنُوهُ فِي ثَوْبَيْهِ، وَلَا تَمَسُّوهُ بِطِيبٍ، وَلَا تُخَمِّرُوا رَأْسَهُ، فَإِنَّهُ يُبْعَثُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مُلَبِّيًا (رواه الشيخان)

Dari Ibnu Khuzaimah ra, ia berkata: Ada seorang yang Ihram (melakukan haji) bersama Nabi saw, lalu ia jatuh tersungkur dari unta hingga wafat. Beliau bersabda: “Mandikanlah dia dengan air dan gunakanlah daun bidara, dan kafankan dia dengan dua lembar kainnya (kain ihramnya), jangan kalian berikan dia wangi-wangian, jangan tutup kepalanya, karena dia akan dibangkitkan pada hari kiamat nanti dengan bertalbiyah yaitu mengucapkan ”Labbaikallahumma Labaik.” (HR Bukhari Muslim)

Cara membuat dan mengkafani bisa bermacam-macam. Diantara cara-cara yang dipraktekkan, berikut ini tata cara mengkafani jenazah sebagaimana dijelaskan Habib Ali Alhinduan dalam umma.id sebagai berikut:

A. Ukuran kain kafan yang digunakan

a. Ukurlah lebar tubuh jenazah.

  • Jika lebar tubuhnya 30 cm, maka lebar kain kafan yang disediakan adalah 90 cm. (1 : 3).

b. Ukurlah tinggi tubuh jenazah.

  1. Jika tinggi tubuhnya 180 cm, maka panjang kain kafannya ditambah 60 cm.
  2. Jika tinggi tubuhnya 150 cm, maka panjang kain kafannya ditambah 50 cm.
  3. Jika tinggi tubuhnya 120 cm, maka panjang kain kafannya ditambah 40 cm.
  4. Jika tinggi tubuhnya 90 cm, maka panjang kain kafannya ditambah 30 cm.
  5. Tambahan panjang kain kafan dimaksudkan agar mudah mengikat bagian atas kepalanya dan bagian bawahnya.

B. Tata cara mengkafani Jenazah laki-laki (dengan tiga lapis kain kafan)

a. Cara mempersiapkan tali pengikat kain kafan.

  1. Panjang tali pengikat disesuaikan dengan lebar tubuh dan ukuran kain kafan. Misalnya lebarnya 60 cm maka panjangnya 180 cm.
  2. Persiapkan sebanyak 7 tali pengikat (jumlah tali usahakan ganjil). Kemudian dipintal dan diletakkan dengan jarak yang sama di atas usungan jenazah.

b. Cara mempersiapkan kain kafan.

  • 3 helai kain diletakkan sama rata diatas tali pengikat yang sudah ditempatkan lebih dahulu, diletakkan di atas usungan jenazah, dengan menyisakan lebih panjang di bagian kepala.
  • Perkiraan penempatan tali pengikat adalah sebagai berikut:
    1. bagian atas kepala
    2. bagian bawah dagu
    3. bagian bawah tangan yang sudah disedekapkan
    4. bagian pantat
    5. bagian lutut
    6. bagian betis
    7. bagian bawah telapak kaki. 
c. Cara mempersiapkan kain cawat (penutup kemaluan).

  1. Sediakan kain dengan panjang 100 cm dan lebar 25 cm ( untuk mayit yang berukuran lebar 60 cm dan tinggi 180 cm), potonglah dari atas dan dari bawah sehingga bentuknya seperti popok bayi.
  2. Kemudian letakkan di atas ketiga helai kain kafan tepat di bawah tempat duduk mayit, letakkan pula potongan kapas di atasnya.
  3. Lalu bubuhilah wewangian dan kapur barus di atas kain cawat dan kain kafan yang langsung melekat pada tubuh mayit.

d. Cara memakaikan kain cawat (penutup kemaluan).

  1. Pindahkan jenazah kemudian bubuhi tubuh mayit dengan wewangian atau sejenisnya. Bubuhi anggota-anggota sujud.
  2. Sediakan kapas yang diberi wewangian dan letakkan di lipatan-lipatan tubuh seperti ketiak dan yang lainnya.
  3. Letakkan kedua tangan sejajar dengan sisi tubuh, lalu ikatlah kain penutup sebagaimana memopok bayi dimulai dari sebelah kanan dan ikatlah dengan baik.

e. Cara membalut kain kafan :

  1. Mulailah dengan melipat lembaran pertama kain kafan sebelah kanan, balutlah dari kepala sampai kaki .
  2. Demikian lakukan dengan lembaran kain kafan yang kedua dan yang ketiga.

f. Cara mengikat tali-tali pengikat.

  1. Mulailah dengan mengikat tali bagian atas kepala mayit dan sisa kain bagian atas yang lebih itu dilipat ke wajahnya lalu diikat dengan sisa tali itu sendiri.
  2. Kemudian ikatlah tali bagian bawah kaki dan sisa kain kafan bagian bawah yang lebih itu dilipat kekakinya lalu diikat dengan sisa tali itu sendiri.
  3. Setelah itu ikatlah kelima tali yang lain dengan jarak yang sama rata. Perlu diperhatikan, mengikat tali tersebut jangan terlalu kencang dan usahakan ikatannya terletak di sisi sebelah kiri tubuh, agar mudah dibuka ketika jenazah dibaringkan kesisi sebelah kanan dalam kubur.


C. Tata cara mengkafani jenazah wanita (dengan lima helai kain kafan).

Jenazah wanita dikafani dengan lima helai kain kafan terdiri atas : Dua helai kain, sebuah baju kurung dan selembar sarung beserta kerudungnya. Jika ukuran lebar tubuhnya 50 cm dan tingginya 150 cm, maka lebar kain kafannya 150 cm dan panjangnya 150 ditambah 50 cm.

Adapun panjang tali pengikatnya adalah 150 cm, disediakan sebanyak tujuh utas tali, kemudian dipintal dan diletakkan sama rata di atas usungan jenazah. Kemudian dua kain kafan tersebut diletakkan sama rata di atas tali tersebut dengan menyisakan lebih panjang di bagian kepala.

a. Cara mempersiapkan baju kurungnya.

  1. Ukurlah mulai dari pundak sampai kebetisnya, lalu ukuran tersebut dikalikan dua, kemudian persiapkanlah kain baju kurungnya sesuai dengan ukuran tersebut.
  2. Lalu buatlah potongan kerah tepat di tengah-tengah kain itu agar mudah dimasuki kepalanya.
  3. Setelah dilipat dua, biarkanlah lembaran baju kurung bagian bawah terbentang, dan lipatlah lebih dulu lembaran atasnya (sebelum dikenakan pada mayit, dan letakkan baju kurung ini di atas kedua helai kain kafannya ) lebar baju kurung tersebut 90 cm.

b. Cara mempersiapkan kain sarung.

  • Ukuran kain sarung adalah : lebar 90 cm dan panjang 150 cm. Kemudian kain sarung tersebut dibentangkan di atas bagian atas baju kurungnya.

c. Cara mempersiapkan kerudung.

  • Ukuran kerudungnya adalah 90 cm x90 cm. Kemudian kerudung tersebut dibentangkan di atas bagian atas baju kurung.

d. Cara mempersiapkan kain cawat (penutup kemaluan).

  1. Sediakan kain dengan panjang 90 cm dan lebar 25 cm.
  2. Potonglah dari atas dan dari bawah seperti popok.
  3. Kemudian letakkanlah di atas kain sarungnya tepat di bawah tempat duduknya, letakkan juga potongan kapas di atasnya.
  4. Lalu bubuhilah wewangian dan kapur barus di atas kain cawat dan kain sarung serta baju kurungnya.

e. Cara melipat kain kafan.

  • Sama seperti membungkus mayat laki-laki.

f. Cara mengikat tali.

  • Sama sepert membungkus mayat laki-laki.



Catatan (dari asysyariah.com):

  1. Anak kecil cukup dikafani dalam selembar kain. Namun, tidak apa-apa apabila dikafani dalam tiga lembar kain. Demikian dikatakan oleh Ishaq bin Rahuyah, Said bin al-Musayyab, ats-Tsauri, ashabur ra`yi, dan selain mereka (al-Mughni, 2/171).
  2. Apabila yang meninggal adalah anak perempuan yang belum haid/balig, menurut al-Hasan al-Bashri rahimahullah, ia dikafani dengan satu kain kafan atau tiga lembar kafan. Dikisahkan oleh Ayub bahwa putri Anas bin Sirin meninggal dunia dalam usia mendekati haid. Ibnu Sirin memerintahkan mereka untuk mengafaninya dengan satu kerudung dan dua kain yang diselimutkan ke seluruh tubuhnya. (al-Mushannaf, Ibnu Abi Syaibah, 3/263—264)

Memandikan Mayat / Jenazah

Paling minimal memandikan mayit adalah dengan menghilangkan najis yang ada pada tubuhnya, kemudian membasuhkan air secara meratakan air keseluruh tubuh, mulai dari rambut sampai pada bagian-bagian yang sulit dimasuki air. Hal ini dilakukan oleh yang memandikan mayat tanpa niat.

Jika jenazah itu laki-laki maka harus dimandikan oleh orang laki-laki dan yang lebih utama memandikanya adalah keluarganya. Jika tidak ada keluarganya atau tidak mampu memandikannya maka dimandikan oleh orang lain yang biasa memandikan mayat. Jika tidak ada orang laki-laki maka yang boleh memandikan mayat laki-laki adalah istrinya dan setelah itu mahram-mahramya yang perempuan.

Sebaliknya jika jenazah itu perempuan maka yang memandikannya harus perempuan dan yang lebih utama memandikanya adalah keluarganya.  Jika tidak ada keluarganya atau tidak mampu memandikanya maka dimandikan oleh orang perempuan lain yang biasa memandikan mayat. Jika tidak ada orang perempuan maka yang memandikanya adalah suaminya dan setelah itu mahram-mahramya yang laki laki.

Adapun tata cara memandikan yang paling sempurna adalah sebagai berikut:

  • Mayit diletakkan di tempat yang tinggi seperti dipan atau balai agar tidak terkena percikan air atau basuhan yang telah mengalir dari tubuhnya dengan posisi tidur terlentang seraya menghadap Kiblat, Tengkuk diangkat sedikit agar air dapat mengalir
  • Dimandikan di tempat yang tertutup dan tidak boleh ada yang masuk kecuali yang memandikan dan pembantunya dan caranya agar tubuh mayat ditutup atau dilapisi dengan kain tipis agar auratnya atau sesuatu yang buruk dalam tubuhnya tidak terlihat.


عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: لَمَّا أَرَادُوا غَسْلَ اَلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا: وَاَللَّهِ مَا نَدْرِي       أَ نُجَرِّدُ رَسُولَ اَللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا نُجَرِّدُ مَوْتَانَا, أَمْ لَا؟ فَلَمَّا اخْتَلَفُوا أَلْقَى اللَّهُ عَلَيْهِمُ النَّوْمَ حَتَّى مَا مِنْهُمْ رَجُلٌ إِلَّا وَذَقْنُهُ فِي صَدْرِهِ ثُمَّ كَلَّمَهُمْ مُكَلِّمٌ مِنْ نَاحِيَةِ الْبَيْتِ لَا يَدْرُونَ مَنْ هُوَ أَنِ اغْسِلُوا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِ ثِيَابُهُ (رواه الشيخان)

Dari Aisyah ra, ia berkata: Ketika para sahabat ingin memandikan jenazah Rasulullah saw, mereka berbeda pendapat. Mereka berkata: “Kami tidak tahu apakah kami membuka pakaiannya sebagaiman kami membuka pakaian saudara2 kami yang meninggal?”. Ketika mereka sedang berselisih pendapat, Allah telah menidurkan mereka sampai sampai dagu mereka tertunduk ke dada.  Kemudian berkata seseorang dari sebelah rumah dan mereka tidak mengetahui siapa dia, dia berkata: Mandikanlah Nabi dengan berpakaian. (HR Bukhari Muslim)

  • Apabila ketika memandikan melihat sesuatu yang bagus pada diri mayat, maka boleh untuk dibicarakan. Namun sebaliknya apabila melihat sesuatu yang buruk pada diri mayit, maka tidak boleh dibicarakan, sebab hal itu termasuk ghibah.
  • Pada waktu memandikan diusahakan bagi yang memandikan dan pembantunya sedapat mungkin tidak melihat pada aurat mayat. Sebagimana tidak boleh melihat aurat orang hidup maka bagi yang sudah mati lebih mulia untuk tidak dilihatnya
  • Dimandikan dengan air bersih dan dingin dicampur dengan bidara
  • Perut mayit ditekan dengan tangan kiri agar kotoran yang ada di dalam perutnya keluar, atau dengan cara didudukan. Kemudian menuangkan air dan membersihkan kotoran. Hal ini dilakukan agar kotoran tidak keluar lagi setelah dimandikan.
  • Mayat direbahkan telentang kembali untuk dibersihkan aurat depan dan belakangnya, dan daerah sekitarnya dengan tangan kiri yang telah terbungkus kain
  • Kemudian mengambil kain berikutnya untuk membersihkan gigi dengan jari telunjuk dan membersihkan lubang hidungnya dari kotoran.
  • Mayat di-wudlu-kan sebagaimana orang yang masih hidup dengan melaksanakan rukun dan sunah wudhu. Dan yang perlu diperhatikan adalah ketika berkumur atau saat memasukkan air ke hidung, jangan sampai air masuk ke dalam yaitu dengan cara kepala mayit hendaknya agak diangkat.
  • Membasuh kepala, jenggot mayat juga dibasuh dan disisir perlahan-lahan. Jika ada rambut yang rontok sunnat diambil dan nanti diletakkan di dalam kain kafan.
  • Kemudian membasuh anggota badan depan mayat yang sebelah kanan mulai dari leher sampai ujung kakinya. Kemudian dilanjutkan pada bagaian yang sebelah kiri.
  • Mayit dimiringkan ke kiri untuk dibasuh bagian belakang mulai dari tengkuk sampai ujung kaki. Kemudian dimiringkan ke kanan untuk dibasuh bagian yang sebelahnya. Semua basuhan di atas disunnatkan memakai air bidara atau sejenisnya
  • Basuhan kedua memakai air murni (tanpa campuran) sebagai pembilas (pembersih). Pembasuhan ini dilakukan dari kepala sampai ke kaki sebanyak tiga kali
  • Basuhan ketiga memakai air yang sudah dicampur sedikit kapur barus yang sekira tidak sampai merubah keadaan air, begitu pula pembasuhan ini dilakukan tiga kali


عَنْ أُمّ عَطِيَّة الْأَنْصَارِيَّة رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا ‏ ‏قالت ‏ دَخَلَ عَلَيْنَا رَسُولَ اَللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِين تُوُفِّيَتْ اِبْنَتُهُ ‏فَقَالَ اِغْسِلْنَهَا ثَلَاثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ أَكْثَر مِنْ ذَلِكَ إِنْ رَأَيْتُنَّ ذَلِكَ بِمَاءٍ وَسِدْر وَاجْعَلْنَ فِي الْآخِرَة كَافُورًا أَوْ شَيْئًا مِنْ كَافُور فَإِذَا فَرَغْتُنَّ فَآذِنَّنِي فَلَمَّا فَرَغْنَا آذْنَاهُ فَأَعْطَانَا حَقْوَهُ ‏فَقَالَ أَشْعِرْنَهَا إِيَّاهُ ‏تَعْنِي إِزَارَهُ وَفِي رِوَايَةٍ اِبْدَأْنَ بِمَيَامِنِهَا وَ مَوَاضَعِ الوُضُوْءِ مِنْهَا (رواه الشيخان)

Dari Ummu ‘Athiyyah ra “Nabi menemui kami sedangkan kami kala itu tengah memandikan putrinya (zainab), lalu beliau bersabda: Mandikanlah dia tiga kali,  lima kali, atau lebih dari itu. Jika kalian memandang perlu, maka pergunakan air dan daun bidara. Dan buatlah di akhir mandinya itu tumbuhan kafur atau sedikit darinya. Dan jika kalian sudah selesai memandikannya, beritahu aku. Setelah selesai memandikan kami pun memberitahu beliau. Maka beliau melemparkan kain kepada kami seraya bersabda: pakaikanlah ini sebagai penutup tubuhnya. Ia berkata: Beliau bersabda: mulailah dengan anggota tubuhnya yang kanan serta anggota-anggota wudhunya.”. (HR. Bukhari Muslim)

  • Dilunakkan sendi-sendinya agar mudah disiapkan dalam pengafanan.
  • Lalu dikeringkan tubuhnya dengan handuk dengan seksama sampai tidak ada lagi air di tubuhnya yang bisa membasahi kafannya.


Keterangan (Ta’liq):

  • Jika tidak ada laki laki yang memandikan mayat laki laki atau tidak ada perempuan yang memandikan mayat perempuan, maka mayat dikafankan tanpa dimandikan hanya cukup ditayamumkan, hal ini demi kehormatan mayat agar tidak dilihat auratnya karena haram seorang laki laki melihat atau menyentuh aurat perempuan yang bukan mahramnya dan begitu pula sebaliknya.
  • Banyak orang yang tidak tepat dalam mengartikan mahram dan muhrim:
  • Mahram adalah orang yang tidak batal wudhu jika disentuh dan tidak boleh dinikahi.
  • Muhrim adalah orang yang berihram waktu melakukan haji atau umrah

Yang Dilakukan Bila Mengahadapi Orang Yang Wafat

Sekarang, jika menghadapi seseorang yang wafat, maka hal-hal yang dilakukan kepadanya adalah

– disunahkan menutup kedua matanya.

عَنْ أُمّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا. قَالَتْ: دَخَلَ رَسُولُ اللّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَىَ أَبِي سَلَمَةَ وَقَدْ شَقّ بَصَرُهُ. فَأَغْمَضَهُ. ثُمّ قَالَ: “إِنّ الرّوحَ إِذَا قُبِضَ تَبِعَهُ الْبَصَرُ (رواه مسلم)

Dari Ummu Salamah bahwa Rasulullah saw mendatangi rumah Abu Salamah (pada hari wafatnya), dan beliau mendapatkan kedua mata Abu Salamah terbuka lalu beliau menutupnya. Beliau bersabda: “Sesungguhnya tatkala ruh dicabut, maka pandangan mata akan mengikutinya’ (HR Muslim)

– Mengikat kepala mayit secara vertikal dari arah dagu dengan kain yang dilingkarkan di atas kepala, hal ini bertujuan agar mulut mayat tertutup dan tidak bisa dimasuki udara.

– Hendaknya tangan mayit di posisikan seperti orang yang shalat.

– Melemaskan sendi sendi tangan dan kaki mayat dengan cara menekuk persendian tersebut berulang kali. Tindakan ini bertujuan agar jasad mayat tidak kaku sehingga sulit dimandikan.

– Melepaskan pakaian mayat yang dikenakan ketika meninggal, sebab pakaian tersebut bisa mempercepat proses pembusukan.

– Menutup jasadnya dengan kain tipis. Kedua ujung kain dilipat ke bawah kepala dan kaki agar tidak tersingkap ketika tertiup angin

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ تُوُفِّيَ سُجِّيَ بِثَوْبٍ حِبَرَةٍ (رواه الشيخان)

Dari Aisyah ra, ia berkata: “Bahwasannya ketika Rasulullah SAW meninggal dunia ditutupi dengan kain hibaroh (yakni kain bergaris hitam putih yang terbuat dari katun).” (HR. Bukhari-Muslim)

– Menaruh sesuatu yang agak berat di atas perut mayit agar perutnya tidak membesar.

لِمَا رُوِىَ أَنَّ مَوْلَى أَنَسٍ مَاتَ فَقَالَ أَنَس رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : ضَعُوا عَلَى بَطْنِه شَيْئاً مِن حَدِيدٍ؛ لئَلاَّ يَنْتَفِخَ بَطْنُه.(رواه البيهقي)

Diriwayatkan bahawa pembantu Anas ra wafat, lalu beliau bekata: “Letakanlah besi diatas perutnya agar perutnya tidak membesar (HR al-Baihaqi)

– Posisi berbaring mayit ke arah Kiblat.

– Memperbanyak do’a-do’a yang berisi permohonan ampunan dan rahmat untuknya,

– Bagi ahli warisnya diharuskan menyegerakan membayar hutang-hutannya atau sangkut paut yang berurusan dengan manusia, begitu pula melaksanakan wasiatnya jika terdapat wasiat

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ (رواه الترمذي و ابن ماجه بإسناد صحيح)

Dari Abu Hurairah, ia berkata: sesungguhnya Rasulallah saw bersabda: “Diri orang mukmin itu tergantung (tidak sampai ke hadhirat Allah) karena hutangnya, hingga dibayar (HR at-Tirmidzi, Ibnu Majah)

Menghadapi Orang yang Mengalami Sakaratul-Maut

Sebelum datang kematian, manusia pasti mengalami sakaratul maut, yaitu saat terpisahnya jasad dengan ruh, saat-saat meninggalkan dunia atau ihtidhar (detik-detik kematian). Apabila seseorang diketahui sedang mengalami sakaratul maut,  maka disunahkan melakukan beberapa hal:

1. Orang tersebut diletakan dalam posisi berbaring di atas rusuk kanan menghadap kiblat, seperti membaringkan mayat di liang lahad. Jika tidak mampu maka diletakan dalam posisi berbaring di atas rusuk kiri. Jika tidak mampu juga maka diterlentangkan di atas punggungnya, dengan kedua telapak kakinya ke arah kiblat, dan kepalanya diangkat sedikit agar wajahnya menghadap ke arah kiblat, seperti posisi mayat yang dimandikan.

عَنْ أَبِي قَتَادَة رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ قَدِمَ الْمَدِينَةَ سَأَلَ عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ مَعْرُورٍ قَالُوا : تُوُفِّيَ ، وَأَوْصَى بِثُلُثِ مَالِهِ لَك يَا رَسُولَ اللَّهِ ، وَأَوْصَى أَنْ يُوَجَّهَ الْقِبْلَةَ إذَا اُحْتُضِرَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَصَابَ الْفِطْرَةَ ، وَقَدْ رَدَدْتُ ثُلُثَهُ عَلَى وَلَدِهِ ثُمَّ ذَهَبَ فَصَلَّى عَلَيْهِ ، وَقَالَ : اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَأَدْخِلْهُ جَنَّتَك وَقَدْ فَعَلْت (رواه الحاكم و قال حديث صحيح)

Dari Abu Qatadah ra, bahwa ketika Nabi saw datang di Madinah, beliau bertanya tentang al-Barra’ bin Ma’rur, lalu para sahabat menjawab bahwa dia telah wafat, dan dia berwasiat memberikan sepertiga hartanya untukmu ya Rasulallah, dan berpesan agar dihadapkan ke kiblat ketika hampir wafat, lalu Rasulullah saw. bersabda : “Sesuai dengan fitrah dan aku kembalikan sepertiga hartanya kepada anaknya”, kemudian beliau pergi dan shalat ghaib atasnya dan berdoa ”Ya Allah ampunilah dia dan masukanlah dia ke surgaMu’(HR al-Hakim, hadist shahih)

2. Membimbingnya atau menuntunnya untuk mengucapkan kalimat “laa ilaaha illallah” dengan suara tenang, tidak dipaksa dan bisa didengar orang tersebut. Tujuannya adalah mengingatkan kepada Allah.

عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الخُدْرِي رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ (رواه مسلم)

Dari Abu sa’id al-Khudzri ra: sesungguhnya Rasulallah saw bersabda: “Ajarilah orang yang hampir mati diantara kalian dengan kalimat “laa illaaha illallah”. (HR Muslim)

3. Dianjurkan agar dibacakan surat Yasin kepada orang yang sedang sakarat

عَنْ مَعْقَلٍ ابْنِ يَسَارٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اقْرَءُوا يس عَلَى مَوْتَاكُمْ (أبو داود و ابن ماجه بإسناد فيه مجهولان ولم يضعفه أبو داود)

Berdasarkan hadits dari Ma’qal bin Yasar ra, ia barkata: sesungguhnya Rasulallah saw bersabda: “Bacakanlah kepada orang yang hampir mati diantara kamu (yakni surat Yasin) (HR Abu Dawud, Ibnu Majah, dengan sanad2 majhul tapi tidak didhaifkan oleh Abu Dawud)

4. Bagi yang sedang sakaratul maut hendaklah berprasangka baik kepada Allah. Yaitu berharap rahmat Allah, selalu mengingat kemurahan dan luas pengampunan-Nya.

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْلَ مَوْتِهِ بِثَلَاثَةِ أَيَّامٍ يَقُولُ : لَا يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلَّا وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ (رواه مسلم)

Dari Jabir bin Abdullah ra, bahwa ia mendengar tiga hari sebelum meninggal Rasulallah saw, beliau bersabda tiga hari sebelum wafat beliau : “Jangan sekali-kali salah seorang diantara kamu meninggal dunia melainkan dalam keadaan dia berbaik sangka kepada Allah Ta’ala.” (HR Muslim)

Do'a Agar Terhindar Dari Penyakit Menular

بِسْمِ اللّٰهِ اَلَّذِي لَا يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ دَاعٌ

"Bismillahilladzi laa yadhurru ma'asmihhi daa'"

Artinya:
Dengan nama Allah yang tiada memadhorotkan dengan nama Allah itu segala penyakit