رَِبِّيْ زِدْنِي عِلْماً وَارْزُقْنِي فَهْمًا
"Robbi zidnii 'ilman warzuqnii fahman."
Artinya :
Ya Allah, tambahkanlah kepada saya Ilmu dan berilah saya Pengertian yang baik
اطلبوا العلم من المهد إلى اللحد = ”Uthlubul ilma min al-mahdi ilâ al-lahdi”
Tuntutlah ilmu mulai dari buaian sampai ke liang kubur
Do'a Akan Berpergian
اللَّهُمَّ هَوّن عَلَيْنا سَفَرَنَا هَذَا وَاطْوِ عَنّا بُعْدَهُ اللَّهُمَّ أنْتَ الصَّاحِبُ فِي السَّفَرِ وَالخَلِيفَةُ في الأهْل
"Allaahumma hawwin 'alainna safaranaa haadzaa wa athwi 'annaa bu'dahu. Allahumma antsh shaahibu fis safari wal khaliifatu fil-ahli"
Artinya:
"Ya Allah! Mudahkanlah perjalanan kami ini dan dekatkanlah kejauhannya. Ya Allah, Engkau adalah teman berpergian dan pelindung keluarga"
(HR. Muslim)
"Allaahumma hawwin 'alainna safaranaa haadzaa wa athwi 'annaa bu'dahu. Allahumma antsh shaahibu fis safari wal khaliifatu fil-ahli"
Artinya:
"Ya Allah! Mudahkanlah perjalanan kami ini dan dekatkanlah kejauhannya. Ya Allah, Engkau adalah teman berpergian dan pelindung keluarga"
(HR. Muslim)
Do'a Ketika Melihat Keindahan Alam
رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
"Robbanaa maakhalaqta haadzaa baathilan subhaanaka faqinaa ‘adzaaban naar"
Artinya:
Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka
(QS. Ali Imran : 191)
"Robbanaa maakhalaqta haadzaa baathilan subhaanaka faqinaa ‘adzaaban naar"
Artinya:
Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka
(QS. Ali Imran : 191)
Larangan Saat Hadats Besar
Berkaitan masalah bersuci (thaharah) tulisan kali ini akan menjelaskan tentang beberapa larangan bagi seorang yang sedang berhadats besar. Penjelasan ini dikutip dari Hasan Husen Assagaf dalam blog hasansaggaf.wordpress.com pada artikel yang berjudul "Larangan Bagi Orang Junub".
Larangan-larangan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Shalat
Sesuai dengan sabda Rasulallah saw “Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci” (HR Muslim)
2. Thawaf
Sesuai dengan sabda Rasulallah saw “Thawaf di Baitullah itu sama dengan shalat hanya saja Allah membolehkan dalam thawaf berbicara” (HR at-Tirmidzi, al-Hakim, ad-Dar quthni)
3. Menyentuh Al-Qur’an, karena ia adalah kitab suci, maka tidak boleh disentuh atau dibawa kecuali dalam keadaan suci.
Allah berfirman: “tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan” (alWaqi’ah:77)
4. Membawa Al-Qur’an. Hal ini dikiyaskan dari menyentuh al-Qur’an
5. Membaca Al-Qur’an
Sesuai dengan hadist yang diriwayatkan dari Ibnu Umar, Rasulallah saw bersabda “Janganlah orang junub dan wanita haid membaca sesuatu pun dari Al Qur’an (HR at-Tirmidzi, Ibnu Majah, al-Baihaqi).
Hadist lainya yang diriwayatkan Ali bin Abi Thalib ra sesungguhnya Rasulallah saw membuang hajatnya kemudian membaca al-Qur’an dan tidak menghalanginya dari pembacaan al-Quran, kemungkinan ia berkata: Bahwasanya menghalangi suatu dari membaca al-Qur’an selain junub (HR Abu Daud, at-Tirmizi, an-Nasai’, hadist hasan shahih)
6. Duduk di Masjid
Allah berfirfman “janganlah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja” an-Nisa’ 43
Larangan-larangan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Shalat
Sesuai dengan sabda Rasulallah saw “Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci” (HR Muslim)
2. Thawaf
Sesuai dengan sabda Rasulallah saw “Thawaf di Baitullah itu sama dengan shalat hanya saja Allah membolehkan dalam thawaf berbicara” (HR at-Tirmidzi, al-Hakim, ad-Dar quthni)
3. Menyentuh Al-Qur’an, karena ia adalah kitab suci, maka tidak boleh disentuh atau dibawa kecuali dalam keadaan suci.
Allah berfirman: “tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan” (alWaqi’ah:77)
4. Membawa Al-Qur’an. Hal ini dikiyaskan dari menyentuh al-Qur’an
5. Membaca Al-Qur’an
Sesuai dengan hadist yang diriwayatkan dari Ibnu Umar, Rasulallah saw bersabda “Janganlah orang junub dan wanita haid membaca sesuatu pun dari Al Qur’an (HR at-Tirmidzi, Ibnu Majah, al-Baihaqi).
Hadist lainya yang diriwayatkan Ali bin Abi Thalib ra sesungguhnya Rasulallah saw membuang hajatnya kemudian membaca al-Qur’an dan tidak menghalanginya dari pembacaan al-Quran, kemungkinan ia berkata: Bahwasanya menghalangi suatu dari membaca al-Qur’an selain junub (HR Abu Daud, at-Tirmizi, an-Nasai’, hadist hasan shahih)
6. Duduk di Masjid
Allah berfirfman “janganlah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja” an-Nisa’ 43
Mandi Besar / Mandi Wajib
Mandi Besar / Mandi Wajib adalah cara bersuci diri dari suatu hadats besar. Hadats (baik hadats kecil maupun hadats besar) akan menjadi penghalang ibadah shalat sebagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
Dalam bahasa arab mandi wajib disebut juga الْغُسْل (ghusl). Ghusl sendiri secara etimologi berarti (السيلان) atau mengalirkan. Sementara secara bahasa, ghusl adalah mengalirkan air ke seluruh tubuh dengan niat tertentu.
Berikut ini beberapa dalil yang menjadi dasar wajibnya mandi wajib atau junub ini.
1. Al Maidah: 6
Artinya: “Dan jika kamu junub Maka mandilah..”
2. An Nisa: 43
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.
Hal-hal yang Mewajibkan Mandi Besar
Mandi junub wajib hukumnya laki-laki maupun perempuan muslim yang telah dewasa atau telah baligh dan mengalami salah satu hal berikut ini.
Fardhu Mandi Besar
1. Niat.
Niat cukup diqashadkan (dihadirkan) dalam hati, tidak harus diucapkan. Bila ingin lebih sempurna, maka niat tersebut dapat dilafazkan sebagai berikut:
3. Menghilangkan Najis jika ada yang menempel pada tubuh.
Sunnah-sunnah Mandi Besar
Mandi wajib sudah sah jika sudah memenuhi fardhu mandi besar seperti yang sudah disebutkan di atas. Namun untuk lebih sempurna, sebaiknya kita juga melakukan beberapa hal sunnah berikut ini:
مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ
Artinya:
“Kunci shalat adalah bersuci, tahrim (pembuka)nya adalah takbir, dan tahlil (penutup)nya adalah salam.” (HR. Abu Dawud, al-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةً بِغَيْرِ طُهُورٍ
Artinya:
“Allah tidak menerima shalat seseorang tanpa bersuci.” (Muttafaq ‘alaih)
لَا تُقْبَلُ صَلَاةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
Artinya:
“Tidak akan diterima shalat seseorang yang berhadats sehingga dia berwudhu.” (Mutaafaq ‘alaih)
Dalam bahasa arab mandi wajib disebut juga الْغُسْل (ghusl). Ghusl sendiri secara etimologi berarti (السيلان) atau mengalirkan. Sementara secara bahasa, ghusl adalah mengalirkan air ke seluruh tubuh dengan niat tertentu.
Berikut ini beberapa dalil yang menjadi dasar wajibnya mandi wajib atau junub ini.
1. Al Maidah: 6
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
Artinya: “Dan jika kamu junub Maka mandilah..”
2. An Nisa: 43
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقْرَبُواْ الصَّلاَةَ وَأَنتُمْ سُكَارَى حَتَّىَ تَعْلَمُواْ مَا تَقُولُونَ وَلاَ جُنُباً إِلاَّ عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىَ تَغْتَسِلُواْ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.
Hal-hal yang Mewajibkan Mandi Besar
Mandi junub wajib hukumnya laki-laki maupun perempuan muslim yang telah dewasa atau telah baligh dan mengalami salah satu hal berikut ini.
- Bertemunya dua khitan (bersetubuh/berjima' atau berhubungan badan suami istri). Baik hingga mengeluarkan mani maupun tidak).
- Keluar mani akibat bersetubuh, mimpi basah, maupun sebab-sebab lainnya.
- Meninggal dunia. (dimandikan) kecuali orang yang mati syahid.
- Selesai haidh (bagi wanita).
- Selesai nifas (bagi Ibu melahirkan). Wanita yang melahirkan akan mengeluarkan darah. Umumnya darah itu keluar selama 40 hari. Setelah masa nifas ini selesai, dia harus melakukan mandi wajib.
- Melahirkan atau wiladah. (bagi ibu setelah melahirkan, mandi wajib dimaksud adalah karena melahirkan, bukan karena nifas).
Nomor 1 dan 2 dinamakan juga janabat / junub
Fardhu Mandi Besar
1. Niat.
Niat cukup diqashadkan (dihadirkan) dalam hati, tidak harus diucapkan. Bila ingin lebih sempurna, maka niat tersebut dapat dilafazkan sebagai berikut:
a. Niat mandi wajib setelah mimpi basah atau berhubungan suami istri
نَوَيْتُ الْغُسْلَ لِرَفْعِ الْحَدَثِ الْأَكْبَرِ مِنَ الْجِنَابَةِ فَرْضًا لِلهِ تَعَالَى"Nawaitu ghuslal li rof’il hadatsil akbari minal janabati ‘an jami’il badani fardhan lillahi ta’ala."
Artinya:
Aku niat mandi wajib untuk menghilangkan hadats besar junub karena Allah SWT.
b .Niat mandi wajib setelah haid
نَوَيْتُ الْغُسْلَ لِرَفْعِ حَدَثِ الْأَكْبَرِ مِنَ الْحَيْضِ فَرْضًا لِلهِ تَعَالَى"Nawaitul ghusla liraf’il hadatsil akbar minal haidi fardlon lillahi ta’ala"
Artinya:
Aku niat mandi wajib untuk menghilangkan hadats besar haidl karena Allah SWT.
c. Niat mandi wajib setelah nifas
نَوَيْتُ الْغُسْلَ لِرَفْعِ حَدَثِ الْأَكْبَرِ مِنَ النِّفَاسِ فَرْضًا لِلهِ تَعَالَى"Nawaitu ghusla liraf’il hadatsil akbar minan nifasi fardlon lillahi ta’ala"
Artinya:
Aku niat mandi wajib untuk menghilangkan hadats besar nifas karena Allah SWT.
d. Niat mandi wajib setelah melahirkan
نَوَيْتُ الْغُسْلَ لِرَفْعِ حَدَثِ الْأَكْبَرِ مِنَ الْوِلَادَةِ فَرْضًا لِلهِ تَعَالَى"Nawaitu ghusla liraf’il hadatsil akbar minal wiladati fardlon lillahi ta’ala"
Artinya:
Aku niat mandi wajib untuk menghilangkan hadats besar melahirkan karena Allah SWT.
2. Membasuh seluruh tubuh dengan air, yakni meratakan/mengaliri air ke seluruh rambut dan kulitnya.
3. Menghilangkan Najis jika ada yang menempel pada tubuh.
Mandi wajib sudah sah jika sudah memenuhi fardhu mandi besar seperti yang sudah disebutkan di atas. Namun untuk lebih sempurna, sebaiknya kita juga melakukan beberapa hal sunnah berikut ini:
- Membaca Basmalah ("Bismillahir rahmaanir rahiim") pada saat akan mulai mandi.
- Mendahulukan membersihkan segala kotoran dan najis dari seluruh badan.
- Membersihkan kemaluan
- Berwudhu (sebelum mandi) seperti wudhu hendak sholat.
- Membasuh (menggosok) badan dengan tangan sampai 3 kali.
- Menghadap kiblat sewaktu mandi dan mendahulukan bagian kanan dari pada yang kiri.
- Muwalat, yaitu sambung menyambung dalam membasuh anggota badan.
Sunah tersebut diantaranya dilakukan berdasarkan hadits sebagai berikut:
أن النبي: كان إذا اغتسل من الجنابة، بدأ فغسل يديه، ثم يتوضأ كما يتوضأ للصلاة، ثم يدخل أصابعه في الماء، فيخلل بها أصول شعره، ثم يصب على رأسه ثلاث غرف بيديه، ثم يفيض الماء على جلده كله
Artinya:
Bahwasanya Nabi Muhammad apabila mandi jinabah ia memulai dengan membasuh kedua tangannya kemudian wudhu seperti wudhu untuk shalat lalu memasukkan jari-jarinya ke dalam air kemudian menyisirkannya ke pangkal rambut kemudian mengalirkan air ke kepalanya tiga cawukan dengan kedua tangannya kemudian meratakan air pada seluruh kulit badannya. (HR. Bukhari)
Bahwasanya Nabi Muhammad apabila mandi jinabah ia memulai dengan membasuh kedua tangannya kemudian wudhu seperti wudhu untuk shalat lalu memasukkan jari-jarinya ke dalam air kemudian menyisirkannya ke pangkal rambut kemudian mengalirkan air ke kepalanya tiga cawukan dengan kedua tangannya kemudian meratakan air pada seluruh kulit badannya. (HR. Bukhari)
Tayammum
Tayammum adalah mengusap muka dan dua belah tangan dengan debu atau tanah yang suci. Pada suatu waktu tayamum bisa jadi pengganti wudhu dan mandi dengasn syarat-sayarat tertentu.
1. Syarat-syarat tayammum
2. Fardu Tayammum
3. Sunah Tayammum
4. Perkara yanga membatalkan Tayammum
1. Syarat-syarat tayammum
- Tidak ada air dan sudah berusaha mencarinya, tetapi tidak ketemu
- Berhalangan menggunakan air, seperti sedang sakit, apabila terkena air penyakitnya akan kambuh atau bertambah parah
- Telah masuk waktu Shalat
- Dengan tanah atau debu yang suci
2. Fardu Tayammum
- Niat (tayammum untuk shalat)
Niat cukup diqashadkan (dihadirkan) dalam hati, tidak harus diucapkan. Bila ingin lebih sempurna, maka niat tersebut dapat dilafazkan sebagai berikut:
نَوَيْتُ التَّيَمُّمَ لاِسْتِبَاحَةِ الصَّلاَةِ فَرْضً ِللهِ تَعَالَى
"Nawaitut-tayammuma li istibaahatish-shaalati fardhal lillahi ta'aalaa"
Artinya:
Aku niat bertayammum untuk dapat mengerjakan shalat fardukarena Allah
- Kemudian meletakan kedua belah telapak tangan diatas debu untuk diusapkan ke muka.
- Mengusap muka dengan telapak tangan dengan dua kali usapan
- Mengusap dua belah tangan hingga siku-siku dengan tanah atau debu dua kali
- Tertib (berurutan)
sumber: doamustajab.com |
3. Sunah Tayammum
- Membaca basmalah (Bismillaahir-rahmaanir-rahiim)
- Mendahulukan anggota yang kanan dari pada yang kiri
- Menipiskan debu (dengan cara menghembuskan)
4. Perkara yanga membatalkan Tayammum
- Segala hal yang membatalkan wudhu
- Melihat air sebelum shalat, kecuali yang bertayammum karena sakit
- Murtad, keluar dari Islam
5. Cara penggunaan Tayamum
Sekali bertayamum hanya dapat digunakan untuk satu shalat fardu. Walaupun belum batal.
Apabila salah satu anggota wudhu ada yang menggunakan perban / dibalut , maka cukup balutannya saja yang diusap dengan air wudhu atau tayammum kemudian megerjakan shalat .
Macam-Macam Air
Dalam agama Islam fungsi air untuk umat sangat penting. Air bisa digunakan untuk membersihkan diri/badan dan benda-benda dari macam-macam najis. Dan yang paling penting air digunakan untuk bersuci (thaharah) dari hadats, yaitu untuk berwudhu, dan mandi (junub) sebagai salah satu rukun (persyaratan) dalam menjalankan ibadah shalat.
Muhammad Abduh Al-Banjary dalam artikel yang berjudul "Macam-Macam Air (Menurut Madzhab Syafi’i)" pada web Tsaqafah.Com menjelaskan sebagai berikut:
Tujuh Macam Air Untuk Bersuci
Menurut Al-Qadhi Abu Syuja’, air yang dapat digunakan untuk bersuci ada tujuh, yaitu: air hujan, air laut, air sungai, air sumur, air mata air, air salju, dan air embun.
Dalam kitab Kifayatul Akhyar dan Al-Fiqh Asy-Syafi’i Al-Muyassar disebutkan dalil-dalil terperinci tentang kesucian tujuh jenis air ini:
Untuk air hujan, dalilnya adalah firman Allah ta’ala:
وَيُنَزلُ عَلَئكُمُ مِنَ السَّماءِ مَاءّ لِيُطَهركُم بِهِ
Artinya:
Dan Dia menurunkan kepada kalian air (hujan) dari langit untuk menyucikan kalian dengan air itu. (QS. Al-Anfaal [8]: 11)
Untuk air laut, dalilnya adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat ditanya tentang air laut:
هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ، الحِلُّ مَيْتَتُه
Artinya:
Laut itu suci airnya dan halal bangkainya. (Diriwayatkan oleh Imam Hadits yang lima. Dan at-Tirmidzi (69) berkata tentang hadits tersebut, ‘Hadits ini hasan shahih’)
Untuk air sumur, dalilnya adalah hadits:
قالوا: يا رسول الله، إنك تتوضأ من بئر بضاعة وفيها ما ينجي الناس، والحائض والجنب؟ فقال: الماء طهور لا ينجسه شيء
Artinya:
Para shahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, Engkau berwudhu dengan air sumur Budha’ah, sedangkan sumur tersebut digunakan oleh orang yang beristinja, perempuan haid, dan orang junub?’ Nabi menjawab, “Air itu suci, tidak dinajiskan oleh apapun.” (Dihasankan oleh Imam At-Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Imam Ahmad dan selainnya)
Air sungai dan air mata air hukumnya sama dengan air sumur, karena asalnya sama.
Adapun kesucian air salju dan air embun, adalah karena adanya hadits Nabi yang menyebutkan doa iftitah, dan di dalamnya dsebutkan kesucian air salju dan embun:
اللهم باعد بيني وبين خطاياي كما باعدت بين المشرق والمغرب اللهم نقني من خطاياي كما ينقى الثوب الأبيض من الدنس اللهم اغسلني من خطاياي بماء الثلج والبرد
Artinya: Wahai Allah, jauhkan aku dan dosa-dosaku sebagaimana Engkau jauhkan antara timur dengan barat. Wahai Allah, bersihkanlah aku dari segala dosa-dosa sebagaimana baju putih yang bersih dari kotoran. Wahai Allah, cucilah aku dengan air salju dan air embun. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Walaupun tanpa perincian seperti di atas, pada dasarnya bersuci itu bisa dilakukan dengan setiap air yang keluar dari bumi dan turun dari langit. Selama ia masih memiliki sifat air murni, tanpa tercampur dengan yang lainnya, dan tidak berubah sifatnya, yaitu warna, rasa, dan baunya. Ini yang dijelaskan oleh Az-Zuhaili dalam kitab Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu.
Pembagian Air Ditinjau Dari Sisi Bisa Atau Tidaknya Digunakan Untuk Bersuci
1. Air Muthlaq
Air muthlaq adalah air murni, tanpa disifati dengan sifat-sifat yang menyebabkan ia berubah dari keadaannya sebagai air murni. Air jenis ini bisa digunakan untuk menghilangkan najis dan mengangkat hadats.
Dasar kesucian air muthlaq ialah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (217) dan selainnya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Seorang Arab badui kencing di masjid, kemudian orang-orang menghampirinya untuk menghardiknya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
دَعُوهُ وهَريقوا عَلى بَوْلِهَ سَجْلاً مِن مَاء – أو: ذَنوبا مِنْ مَاءْ – فَإتمَا بُعِثْتُمْ مُيسَرِينً وَلَمْ تُبعَثُوا مُعَسرِينَ
Artinya:
Biarkanlah dia, dan siramkanlah seember air di tempat kencingnya itu. Sesungguhnya kalian diutus untuk menjadi orang-orang yang memudahkan, bukan menjadi orang-orang yang menyusahkan.
2. Air musyammas
Air musyammas adalah air yang dipanaskan dalam bejana logam dengan memakai panas matahari. Air ini suci dan menyucikan, karena ia masih memiliki sifat air muthlaq, namun ia makruh digunakan.
Imam Asy-Syafi’i dalam Al-Umm meriwayatkan atsar dari ‘Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau memakruhkan mandi dengan air musyammas. Namun Ibnu Hajar Al-‘Asqalani menyatakan bahwa dalam atsar ini terdapat rawi yang dha’if jiddan.
Imam Asy-Syafi’i juga berkata: “Aku tidak memakruhkan air musyammas, kecuali karena memperhatikan aspek kedokteran (kesehatan)”. Air ini makruh, karena dianggap dapat menyebabkan penyakit kusta.
Air musyammas ini baru dianggap makruh jika memenuhi dua ketentuan:
(a) Ia berada dalam wadah logam, seperti besi, tembaga, dan semisalnya.
(b) Digunakan di daerah yang sangat panas, seperti Hijaz dan semisalnya.
Jika tidak memenuhi dua ketentuan di atas, maka air musyammas tidak makruh digunakan.
Ini merupakan pendapat resmi madzhab Syafi’i. Sedangkan sebagian fuqaha Syafi’iyyah, seperti An-Nawawi dan Ar-Ruyani, menyatakan air jenis ini tidak makruh digunakan.
3. Air Suci Namun Tidak Menyucikan
Maksudnya, air jenis ini suci, tidak najis, namun ia tidak menyucikan, sehingga tidak bisa digunakan untuk menghilangkan najis atau mengangkat hadats.
Air suci namun tidak menyucikan ini terbagi menjadi dua, yaitu:
(a) Air Musta’mal
Air musta’mal adalah air yang telah dipakai untuk menghilangkan hadats.
Dalil kesuciannya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (191) dan Muslim (1616) dari Jabir ibn ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
جاء رسول الله صلى الله عليه وسلم يعودُني وأنا مريض لا أعْقِلُ، فتوضأ وصب عَليَّ منْ وَضُوئِهِ
Artinya:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang untuk menjenguk aku ketika aku sakit dan hampir tak sadarkan diri. Beliau berwudhu dan menuangkan air bekas wudhunya kepadaku.
Seandainya air bekas wudhu tidak suci, maka beliau tidak akan menuangkannya kepada Jabir ibn ‘Abdillah.
Adapun dalil bahwa air musta’mal tidak menyucikan (maksudnya tidak bisa digunakan untuk thaharah) adalah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim (283) dan selainnya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لا يغْتَسِلْ أحَدُكُمْ في المَاءِ الدائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ
Artinya:
Janganlah salah seorang di antara kalian mandi di air yang tidak mengalir, sedangkan ia dalam keadaan junub.
Orang-orang bertanya ke Abu Hurairah: “Wahai Abu Hurairah, kalau begitu apa yang harus ia lakukan?”, Ia menjawab: “Ia harus menciduknya”.
Hadits ini menunjukkan bahwa mandi dengan berendam di air tersebut akan menghilangkan sifat menyucikan air tersebut, jika tidak, tentu Nabi tidak melarangnya. Ini kemungkinan karena air tersebut jumlahnya sedikit.
Hukum berwudhu di air seperti ini sama dengan hukum mandi, karena hakikatnya sama, yaitu menghilangkan hadats.
Menurut pendapat yang shahih dalam madzhab Syafi’i, sifat “tidak menyucikan” pada air musta’mal ini adalah untuk menghilangkan hadats yang fardhu, semisal basuhan pertama pada anggota wudhu yang wajib dibasuh. Adapun untuk thaharah yang sunnah, semisal basuhan kedua dan ketiga pada anggota wudhu, maka air bekas basuhan ini tetap suci menyucikan.
(b) Air yang Tercampur dengan Benda-benda yang Suci
Air jenis ini tidak lagi bisa menyucikan, karena ia telah berubah dari keadaannya sebagai air muthlaq, akibat percampurannya dengan benda-benda lain, sehingga mengubah sifatnya. Adapun jika percampurannya sedikit, sehingga tak mengubah sifat air muthlaq, maka menurut pendapat yang paling shahih, ia tetap suci dan menyucikan.
Benda-benda suci di sini maksudnya adalah benda yang biasanya tidak dibutuhkan oleh air dan tidak mungkin memisahkannya jika telah tercampur dengan air, misalnya misk (minyak kesturi), garam, dan lainnya.
Menurut pendapat yang shahih dalam madzhab Syafi’i, perubahan sifat pada air muthlaq, sehingga ia tak bisa lagi dianggap menyucikan, cukup pada perubahan salah satu sifatnya saja, baik warna, rasa, maupun baunya, tak perlu perubahan ketiga sifat ini sekaligus.
4. Air Najis
Air najis yang dimaksud di sini adalah air yang jumlahnya sedikit, kurang dari 2 qullah, yang terkena benda-benda najis, walaupun air tersebut tidak berubah sifatnya. Atau air yang jumlahnya lebih dari 2 qullah, yang terkena benda-benda najis, kemudian berubah sifatnya, baik warna, rasa, atau baunya.
Ukuran 2 qullah kira-kira sejumlah 500 kati yang digunakan penduduk Baghdad, berdasarkan pendapat yang paling shahih dalam madzhab Syafi’i. Dalam ukuran sekarang, menurut Al-Bugha, kira-kira sepadan dengan 190 liter atau luas kubus yang panjang sisinya 58 cm. Ada juga yang memperkirakan ukurannya sekitar 270 liter, sebagaimana disampaikan oleh Az-Zuhaili dalam Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu.
Mengenai air yang jumlahnya tidak sampai 2 qullah, Imam Hadits yang Lima (Imam Ahmad dan para penulis As-Sunan Al-Arba’ah) meriwayatkan dari ‘Abdullah ibn ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika beliau ditanya tentang air yang berada di padang pasir yang diminum oleh binatang-binatang buas dan binatang-binatang ternak. Beliau menjawab:
إذا كَانَ المَاءُ قُلتَينِ لَمْ يَحْملِ الخَبَثَ
Artinya:
Jika airnya mencapai 2 qullah, maka ia tidak mengandung najis.
Dalam lafazh Abu Dawud (65), dikatakan:
فإنه لا يَنْجُسُ
Artinya:
Ia tidak menjadi najis.
Binatang buas adalah adalah setiap hewan yang memiliki taring yang digunakan untuk memburu hewan-hewan lainnya.
Mafhum dari hadits ini adalah jika air tidak sampai 2 qullah, maka ia menjadi najis, walaupun air tersebut tidak berubah. Pemahaman ini ditunjukkan dan didukung oleh Hadits riwayat Muslim (278) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إذا استَيْقَظَ أحَدُكُم مِنْ نَومه فَلاَ يغْمِسْ يَدَهُ في الإنَاء حَتى يغسلَهَا ثَلاثاً، فَإنهُ لا يَدرِيً أينَ بَاتَتْ يَدُهُ
Artinya:
Jika salah seorang di antara kalian bangun dari tidur, janganlah ia memasukkan tangannya ke dalam bejana, sampai ia mencucinya tiga kali, karena ia tidak tahu di mana tangannya bermalam.
Hadits di atas menjelaskan bahwa orang yang bangun tidur dilarang memasukkan tangannya ke dalam bejana karena dikhawatirkan tangannya kotor oleh najis yang tidak kelihatan. Dan kita ketahui, najis yang tidak kelihatan zatnya tidak akan mengubah keadaan air. Artinya larangan Nabi tersebut menunjukkan persentuhan tangan yang bernajis dengan air dalam bejana akan menyebabkan air tersebut menjadi najis, walaupun keadaannya tidak berubah.
Adapun dalil najisnya air yang bercampur benda najis, dan menyebabkan keadaannya berubah, walaupun air tersebut telah mencapai 2 qullah adalah ijma’. Dalam Al-Majmu’ disebutkan bahwa Ibnul Mundzir berkata, “Para ulama ijma’ bahwa air yang sedikit atau banyak, jika bercampur dengan najis, lalu air tersebut berubah rasa, warna, atau baunya, air tersebut menjadi najis.”
Adapun hadits:
الماء طهور لاَ يُنَجسُهُ شيء إلا مَا غير طَعمَهُ أوْ رِيحَهُ
Artinya:
Air itu suci dan menyucikan, tidak bisa menjadi najis oleh apapun, kecuali oleh sesuatu yang mengubah rasa atau baunya.
Hadits tersebut adalah hadits dha’if. Imam An-Nawawi mengomentarinya: “Tidak sah berhujjah dengan hadits ini”. Beliau melanjutkan: “Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu ta’ala menukil kedhaifannya dari para ulama hadits.”
Muhammad Abduh Al-Banjary dalam artikel yang berjudul "Macam-Macam Air (Menurut Madzhab Syafi’i)" pada web Tsaqafah.Com menjelaskan sebagai berikut:
Tujuh Macam Air Untuk Bersuci
Menurut Al-Qadhi Abu Syuja’, air yang dapat digunakan untuk bersuci ada tujuh, yaitu: air hujan, air laut, air sungai, air sumur, air mata air, air salju, dan air embun.
Dalam kitab Kifayatul Akhyar dan Al-Fiqh Asy-Syafi’i Al-Muyassar disebutkan dalil-dalil terperinci tentang kesucian tujuh jenis air ini:
Untuk air hujan, dalilnya adalah firman Allah ta’ala:
وَيُنَزلُ عَلَئكُمُ مِنَ السَّماءِ مَاءّ لِيُطَهركُم بِهِ
Artinya:
Dan Dia menurunkan kepada kalian air (hujan) dari langit untuk menyucikan kalian dengan air itu. (QS. Al-Anfaal [8]: 11)
Untuk air laut, dalilnya adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat ditanya tentang air laut:
هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ، الحِلُّ مَيْتَتُه
Artinya:
Laut itu suci airnya dan halal bangkainya. (Diriwayatkan oleh Imam Hadits yang lima. Dan at-Tirmidzi (69) berkata tentang hadits tersebut, ‘Hadits ini hasan shahih’)
Untuk air sumur, dalilnya adalah hadits:
قالوا: يا رسول الله، إنك تتوضأ من بئر بضاعة وفيها ما ينجي الناس، والحائض والجنب؟ فقال: الماء طهور لا ينجسه شيء
Artinya:
Para shahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, Engkau berwudhu dengan air sumur Budha’ah, sedangkan sumur tersebut digunakan oleh orang yang beristinja, perempuan haid, dan orang junub?’ Nabi menjawab, “Air itu suci, tidak dinajiskan oleh apapun.” (Dihasankan oleh Imam At-Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Imam Ahmad dan selainnya)
Air sungai dan air mata air hukumnya sama dengan air sumur, karena asalnya sama.
Adapun kesucian air salju dan air embun, adalah karena adanya hadits Nabi yang menyebutkan doa iftitah, dan di dalamnya dsebutkan kesucian air salju dan embun:
اللهم باعد بيني وبين خطاياي كما باعدت بين المشرق والمغرب اللهم نقني من خطاياي كما ينقى الثوب الأبيض من الدنس اللهم اغسلني من خطاياي بماء الثلج والبرد
Artinya: Wahai Allah, jauhkan aku dan dosa-dosaku sebagaimana Engkau jauhkan antara timur dengan barat. Wahai Allah, bersihkanlah aku dari segala dosa-dosa sebagaimana baju putih yang bersih dari kotoran. Wahai Allah, cucilah aku dengan air salju dan air embun. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Walaupun tanpa perincian seperti di atas, pada dasarnya bersuci itu bisa dilakukan dengan setiap air yang keluar dari bumi dan turun dari langit. Selama ia masih memiliki sifat air murni, tanpa tercampur dengan yang lainnya, dan tidak berubah sifatnya, yaitu warna, rasa, dan baunya. Ini yang dijelaskan oleh Az-Zuhaili dalam kitab Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu.
Pembagian Air Ditinjau Dari Sisi Bisa Atau Tidaknya Digunakan Untuk Bersuci
1. Air Muthlaq
Air muthlaq adalah air murni, tanpa disifati dengan sifat-sifat yang menyebabkan ia berubah dari keadaannya sebagai air murni. Air jenis ini bisa digunakan untuk menghilangkan najis dan mengangkat hadats.
Dasar kesucian air muthlaq ialah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (217) dan selainnya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Seorang Arab badui kencing di masjid, kemudian orang-orang menghampirinya untuk menghardiknya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
دَعُوهُ وهَريقوا عَلى بَوْلِهَ سَجْلاً مِن مَاء – أو: ذَنوبا مِنْ مَاءْ – فَإتمَا بُعِثْتُمْ مُيسَرِينً وَلَمْ تُبعَثُوا مُعَسرِينَ
Artinya:
Biarkanlah dia, dan siramkanlah seember air di tempat kencingnya itu. Sesungguhnya kalian diutus untuk menjadi orang-orang yang memudahkan, bukan menjadi orang-orang yang menyusahkan.
2. Air musyammas
Air musyammas adalah air yang dipanaskan dalam bejana logam dengan memakai panas matahari. Air ini suci dan menyucikan, karena ia masih memiliki sifat air muthlaq, namun ia makruh digunakan.
Imam Asy-Syafi’i dalam Al-Umm meriwayatkan atsar dari ‘Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau memakruhkan mandi dengan air musyammas. Namun Ibnu Hajar Al-‘Asqalani menyatakan bahwa dalam atsar ini terdapat rawi yang dha’if jiddan.
Imam Asy-Syafi’i juga berkata: “Aku tidak memakruhkan air musyammas, kecuali karena memperhatikan aspek kedokteran (kesehatan)”. Air ini makruh, karena dianggap dapat menyebabkan penyakit kusta.
Air musyammas ini baru dianggap makruh jika memenuhi dua ketentuan:
(a) Ia berada dalam wadah logam, seperti besi, tembaga, dan semisalnya.
(b) Digunakan di daerah yang sangat panas, seperti Hijaz dan semisalnya.
Jika tidak memenuhi dua ketentuan di atas, maka air musyammas tidak makruh digunakan.
Ini merupakan pendapat resmi madzhab Syafi’i. Sedangkan sebagian fuqaha Syafi’iyyah, seperti An-Nawawi dan Ar-Ruyani, menyatakan air jenis ini tidak makruh digunakan.
3. Air Suci Namun Tidak Menyucikan
Maksudnya, air jenis ini suci, tidak najis, namun ia tidak menyucikan, sehingga tidak bisa digunakan untuk menghilangkan najis atau mengangkat hadats.
Air suci namun tidak menyucikan ini terbagi menjadi dua, yaitu:
(a) Air Musta’mal
Air musta’mal adalah air yang telah dipakai untuk menghilangkan hadats.
Dalil kesuciannya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (191) dan Muslim (1616) dari Jabir ibn ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
جاء رسول الله صلى الله عليه وسلم يعودُني وأنا مريض لا أعْقِلُ، فتوضأ وصب عَليَّ منْ وَضُوئِهِ
Artinya:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang untuk menjenguk aku ketika aku sakit dan hampir tak sadarkan diri. Beliau berwudhu dan menuangkan air bekas wudhunya kepadaku.
Seandainya air bekas wudhu tidak suci, maka beliau tidak akan menuangkannya kepada Jabir ibn ‘Abdillah.
Adapun dalil bahwa air musta’mal tidak menyucikan (maksudnya tidak bisa digunakan untuk thaharah) adalah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim (283) dan selainnya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لا يغْتَسِلْ أحَدُكُمْ في المَاءِ الدائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ
Artinya:
Janganlah salah seorang di antara kalian mandi di air yang tidak mengalir, sedangkan ia dalam keadaan junub.
Orang-orang bertanya ke Abu Hurairah: “Wahai Abu Hurairah, kalau begitu apa yang harus ia lakukan?”, Ia menjawab: “Ia harus menciduknya”.
Hadits ini menunjukkan bahwa mandi dengan berendam di air tersebut akan menghilangkan sifat menyucikan air tersebut, jika tidak, tentu Nabi tidak melarangnya. Ini kemungkinan karena air tersebut jumlahnya sedikit.
Hukum berwudhu di air seperti ini sama dengan hukum mandi, karena hakikatnya sama, yaitu menghilangkan hadats.
Menurut pendapat yang shahih dalam madzhab Syafi’i, sifat “tidak menyucikan” pada air musta’mal ini adalah untuk menghilangkan hadats yang fardhu, semisal basuhan pertama pada anggota wudhu yang wajib dibasuh. Adapun untuk thaharah yang sunnah, semisal basuhan kedua dan ketiga pada anggota wudhu, maka air bekas basuhan ini tetap suci menyucikan.
(b) Air yang Tercampur dengan Benda-benda yang Suci
Air jenis ini tidak lagi bisa menyucikan, karena ia telah berubah dari keadaannya sebagai air muthlaq, akibat percampurannya dengan benda-benda lain, sehingga mengubah sifatnya. Adapun jika percampurannya sedikit, sehingga tak mengubah sifat air muthlaq, maka menurut pendapat yang paling shahih, ia tetap suci dan menyucikan.
Benda-benda suci di sini maksudnya adalah benda yang biasanya tidak dibutuhkan oleh air dan tidak mungkin memisahkannya jika telah tercampur dengan air, misalnya misk (minyak kesturi), garam, dan lainnya.
Menurut pendapat yang shahih dalam madzhab Syafi’i, perubahan sifat pada air muthlaq, sehingga ia tak bisa lagi dianggap menyucikan, cukup pada perubahan salah satu sifatnya saja, baik warna, rasa, maupun baunya, tak perlu perubahan ketiga sifat ini sekaligus.
4. Air Najis
Air najis yang dimaksud di sini adalah air yang jumlahnya sedikit, kurang dari 2 qullah, yang terkena benda-benda najis, walaupun air tersebut tidak berubah sifatnya. Atau air yang jumlahnya lebih dari 2 qullah, yang terkena benda-benda najis, kemudian berubah sifatnya, baik warna, rasa, atau baunya.
Ukuran 2 qullah kira-kira sejumlah 500 kati yang digunakan penduduk Baghdad, berdasarkan pendapat yang paling shahih dalam madzhab Syafi’i. Dalam ukuran sekarang, menurut Al-Bugha, kira-kira sepadan dengan 190 liter atau luas kubus yang panjang sisinya 58 cm. Ada juga yang memperkirakan ukurannya sekitar 270 liter, sebagaimana disampaikan oleh Az-Zuhaili dalam Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu.
Mengenai air yang jumlahnya tidak sampai 2 qullah, Imam Hadits yang Lima (Imam Ahmad dan para penulis As-Sunan Al-Arba’ah) meriwayatkan dari ‘Abdullah ibn ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika beliau ditanya tentang air yang berada di padang pasir yang diminum oleh binatang-binatang buas dan binatang-binatang ternak. Beliau menjawab:
إذا كَانَ المَاءُ قُلتَينِ لَمْ يَحْملِ الخَبَثَ
Artinya:
Jika airnya mencapai 2 qullah, maka ia tidak mengandung najis.
Dalam lafazh Abu Dawud (65), dikatakan:
فإنه لا يَنْجُسُ
Artinya:
Ia tidak menjadi najis.
Binatang buas adalah adalah setiap hewan yang memiliki taring yang digunakan untuk memburu hewan-hewan lainnya.
Mafhum dari hadits ini adalah jika air tidak sampai 2 qullah, maka ia menjadi najis, walaupun air tersebut tidak berubah. Pemahaman ini ditunjukkan dan didukung oleh Hadits riwayat Muslim (278) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إذا استَيْقَظَ أحَدُكُم مِنْ نَومه فَلاَ يغْمِسْ يَدَهُ في الإنَاء حَتى يغسلَهَا ثَلاثاً، فَإنهُ لا يَدرِيً أينَ بَاتَتْ يَدُهُ
Artinya:
Jika salah seorang di antara kalian bangun dari tidur, janganlah ia memasukkan tangannya ke dalam bejana, sampai ia mencucinya tiga kali, karena ia tidak tahu di mana tangannya bermalam.
Hadits di atas menjelaskan bahwa orang yang bangun tidur dilarang memasukkan tangannya ke dalam bejana karena dikhawatirkan tangannya kotor oleh najis yang tidak kelihatan. Dan kita ketahui, najis yang tidak kelihatan zatnya tidak akan mengubah keadaan air. Artinya larangan Nabi tersebut menunjukkan persentuhan tangan yang bernajis dengan air dalam bejana akan menyebabkan air tersebut menjadi najis, walaupun keadaannya tidak berubah.
Adapun dalil najisnya air yang bercampur benda najis, dan menyebabkan keadaannya berubah, walaupun air tersebut telah mencapai 2 qullah adalah ijma’. Dalam Al-Majmu’ disebutkan bahwa Ibnul Mundzir berkata, “Para ulama ijma’ bahwa air yang sedikit atau banyak, jika bercampur dengan najis, lalu air tersebut berubah rasa, warna, atau baunya, air tersebut menjadi najis.”
Adapun hadits:
الماء طهور لاَ يُنَجسُهُ شيء إلا مَا غير طَعمَهُ أوْ رِيحَهُ
Artinya:
Air itu suci dan menyucikan, tidak bisa menjadi najis oleh apapun, kecuali oleh sesuatu yang mengubah rasa atau baunya.
Hadits tersebut adalah hadits dha’if. Imam An-Nawawi mengomentarinya: “Tidak sah berhujjah dengan hadits ini”. Beliau melanjutkan: “Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu ta’ala menukil kedhaifannya dari para ulama hadits.”
Hukum-Hukum dalam Agama Islam
Hukum-hukum dalam Islam dibagi dalam lima ketentuan yaitu wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah. Agar kita dapat mengikuti ketentuan agama dengan baik dan benar, mari kita pahami dengan seksama pengertian dari hukum-hukum tersebut.
1. Fardhu (Wajib)
Wajib adalah suatu perkara yang harus dilakukan, yang mana orang akan mendapatkan sebuah pahala jika orang tersebut mau melakukan pekerjaan atau perbuatan yang diperintahkan dan akan mendapat siksa atau dosa bila tidak mengerjakan suatu hal yang diperintahkan.
2. Sunnah
Sunnah adalah suatu perkara yang dianjurkan, yang mana jika orang mau melakukan suatu hal atau perbuatan yang dianjurkan akan mendapatkan pahala, namun bila orang tersebut meninggalkan atau tidak mengerjakan perbuatan yang dianjurkan maka dia tidak mendapatkan apa-apa dan tidak mendapatkan dosa.
3. Haram
Haram merupakan suatu perkara yang tidak boleh / dilarang, yang mana bila seseorang tidak mengerjakan suatu perkara yang dilarang maka dia akan mendapatkan pahala, dan bila perkara yang dilarang itu dilakukan atau dikerjakan maka dia akan mendapatkan dosa.
4. Makruh
Makruh adalah suatu perkara yang sebaiknya dihindarkan / tidak dilakukan, yang mana bila seseorang meninggalkan perkara atau hal itu akan mendapat pahala, dan bila seseorang mengerjakan suatu hal yang dihukumi makruh maka dia tidak mendapat dosa. Tapi ingat bahwa hal yang bersifat makruh lebih baik ditinggalkan karena Allah tidak menyukai hal yang makruh.
5. Mubah
Mubah adalah suatu perkara atau hal yang boleh untuk dikerjakan dan boleh juga untuk ditinggalkan.
1. Fardhu (Wajib)
Wajib adalah suatu perkara yang harus dilakukan, yang mana orang akan mendapatkan sebuah pahala jika orang tersebut mau melakukan pekerjaan atau perbuatan yang diperintahkan dan akan mendapat siksa atau dosa bila tidak mengerjakan suatu hal yang diperintahkan.
Fardhu sendiri terbagi atas dua jenis yakni Fardu Ain dan Fardu Kifayah.
- Fardhu Ain diwajibkan kepada individu-individu.
- Fardu Kifayah akan gugur bila telah dilaksanakan oleh muslim yang lain.
2. Sunnah
Sunnah adalah suatu perkara yang dianjurkan, yang mana jika orang mau melakukan suatu hal atau perbuatan yang dianjurkan akan mendapatkan pahala, namun bila orang tersebut meninggalkan atau tidak mengerjakan perbuatan yang dianjurkan maka dia tidak mendapatkan apa-apa dan tidak mendapatkan dosa.
Terkait dengan shalat, hukun shalat sunnah terbagi lagi menjadi dua, yaitu:
- Shalat sunnah muakkad adalah shalat sunah yang dianjurkan dengan penekanan yang kuat (hampir mendekati wajib), seperti shalat dua hari raya, shalat sunah witir dan salat sunah thawaf.
- Shalat sunnah ghairu muakkad adalah shalat sunah yang dianjurkan tanpa penekanan yang kuat, seperti shalat sunah Rawatib dan shalat sunah yang sifatnya insidentil (tergantung waktu dan keadaan, seperti salat kusuf/khusuf hanya dikerjakan ketika terjadi gerhana).
Haram merupakan suatu perkara yang tidak boleh / dilarang, yang mana bila seseorang tidak mengerjakan suatu perkara yang dilarang maka dia akan mendapatkan pahala, dan bila perkara yang dilarang itu dilakukan atau dikerjakan maka dia akan mendapatkan dosa.
4. Makruh
Makruh adalah suatu perkara yang sebaiknya dihindarkan / tidak dilakukan, yang mana bila seseorang meninggalkan perkara atau hal itu akan mendapat pahala, dan bila seseorang mengerjakan suatu hal yang dihukumi makruh maka dia tidak mendapat dosa. Tapi ingat bahwa hal yang bersifat makruh lebih baik ditinggalkan karena Allah tidak menyukai hal yang makruh.
5. Mubah
Mubah adalah suatu perkara atau hal yang boleh untuk dikerjakan dan boleh juga untuk ditinggalkan.
Pengertian Hadats
Hadats adalah perkara-perkara yang mewajibkan seseorang wajib bersuci (berwudhu atau mandi janabah) jika hendak melaksanakan shalat.
Hadats dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Hadats Kecil adalah hadats yang dapat disucikan dengan cara wudhu, jika berhalangan dapat diganti dengan tayamum.
Hal-hal yang termasuk hadats kecil adalah :
b. Hadats Besar adalah hadats yang dapat disucikan dengan mandi janabah (mandi junub), jika berhalangan dapat diganti dengan tayamum.
Hal-hal yang menyebabkan hadats besar adalah :
Hadats dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Hadats Kecil adalah hadats yang dapat disucikan dengan cara wudhu, jika berhalangan dapat diganti dengan tayamum.
Hal-hal yang termasuk hadats kecil adalah :
- Keluar sesuatu dari jalan depan (buang air kecil) dan jalan belakang (buang air besar)
- Hilang akal ( karena tidur tidak dengan duduk, gila )
- Menyentuh kemaluan dengan telapak tangan.
- Bersentuhan kulit antar lawan jenis yang bukan muhrim.
b. Hadats Besar adalah hadats yang dapat disucikan dengan mandi janabah (mandi junub), jika berhalangan dapat diganti dengan tayamum.
Hal-hal yang menyebabkan hadats besar adalah :
- Melakukan hubungan suami isteri (jima'/bersetubuh) baik mengeluarkan air mani atau tidak.
- Keluar sperma (mani), baik disengaja maupun tidak.
- Selesai masa haid/menstruasi (bagi wanita)
- Selesai masa nifas (masa setelah melahirkan)
- Wiladah (setelah melahirkan)
- Meninggal dunia
Firman Allah tentang ketentuan wudhu’, mandi dan tayammum (bersuci dari hadats) dijelaskan dalam Surat Al Ma'idah [5] ayat 6 sebagai berikut.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, bertayammumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan debu itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur. (Surat Al Maidah: 6)
Pengertian Najis dan Cara Membersihkannya
Menurut bahasa, najis (Arab: نجس) artinya kotor. Menurut istilah, najis adalah segala sesuatu yang dianggap kotor menurut syara’ (Hukum Islam) dan menjadi sebab terhalangnya seseorang untuk beribadah kepada Allah.
Bagian tubuh, benda atau barang yang terkena najis disebut mutanajjis. Benda yang terkena najis dapat dibersihkan sesuai dengan macam najisnya sebagai berikut:
1. Najis Mukhaffafah (najis ringan)
Najis ringan adalah najis yang cara membersihkannya cukup dengan dipercikkan air pada bagian yang terkena najis. Bentuk najis ini sebagaimana diungkap dalam hadits adalah air kencing bayi yang belum berumur 2 (dua) tahun dan belum pernah makan sesuatu kecuali air susu dari ibu-nya.
Al-Bukhari (2021) dan Muslim (287) telah meriwayatkan dari Ummu Qais binti Mihsab RA:
اَنَّهَا اَتَتْ باِبْنٍ لَهَا صَغِيْرٍ لَمْ يَأكُلِ الطَّعَامَ اِلىَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَالَ عَلَى ثَوْبِهِ، فَدَعَا بِمَاءٍ فَنَضَحَهُ وَلَمْ يَغْسِلْهُ
Artinya:
Bahwa wanita itu telah datang membawa seorang anaknya yang masih kecil, yang belum memakan makanan, kepada Rasulullah SAW. tiba-tiba anak itu kencing pada baju beliau. Maka beliau menyuruh ambilkan air, lalu beliau percikkan tanpa mencucinya.
2. Najis Mughallazhah (najis berat)
Najis berat adalah najis yang cara membersihkannya dengan dicuci sebanyak tujuh kali dan satu kali dilengkapi dengan tanah.
Yang dimaksud dengan najis berat ini adalah Najis (liur dan kotoran) Anjing serta Keturunannya.
Dalam hadits ‘Abdullah bin Mughoffal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِى الإِنَاءِ فَاغْسِلُوهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ وَعَفِّرُوهُ الثَّامِنَةَ فِى التُّرَابِ
Artinya:
Jika anjing menjilat (walagho) di salah satu bejana kalian, cucilah sebanyak tujuh kali dan gosoklah yang kedelapan dengan tanah (debu) (HR. Muslim no. 280).
Ada pendapat bahwa najis berat juga termasuk najis yang berasal dari babi, dengan pertimbangan karena perilaku babi lebih jorok/kotor dari pada anjing.
3. Najis Mutawassithah (najis pertengahan)
Najis Mutawassithah (najis pertengahan/sedang) adalah najis selain yang disebutkan sebagai najis ringan ataupun najis berat. Contohnya adalah segala sesuatu yang keluar dari kubul dan dubur manusia dan hewan, bangkai (kecuali ikan dan belalang), air susu hewan yang diharamkan untuk memakan dagingnya, khamar, dan lain sebagainya.
Najis Mutawassitah terdiri atas dua macam, yakni :
Untuk membersihkan najis mutawassithah ‘ainiyah caranya dengan dibasuh dengan air bersih hingga hilang benar najisnya. Sedangkan untuk najis hukmiyah dapat dibersihkan dengan dialirkan air di tempat yang kena najis.
Beberapa hadis yang menerangkan mengenai najis ini diantaranya:
Al-Bukhari (214) meriwayatkan dari Anas RA, dia berkata:
كاَنَ النَّبِيُّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِذَا تَبَرَّزَ لِحَاجَتِهِ اَتَيْتُهُ بِمَاءٍ فَيَغْسِلُ بِهِ
Apabila Nabi SAW keluar ke tanah lapang untuk memenuhi hajatnya, maka aku bawakan air untuk beliau, lalau beliau gunakan air itu untuk bersuci.
Tabarraza lihajatihi: keluar menuju al-baraz (tanah lapang), untuk memnuhi hajatnya, yaitu buang air kecil atau pun besar.
Dan juga al-Bukhari (176) dan Muslim (303) telah meriwayatkan dari Ali RA, dia berkata:
كُنْتُ رَجُلاً مَذَّاءً، فاَسْتَحْيَيْتُ اَنْ اَسْاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَاَمَرْتُ الْمِقْدَادَبْنَ اْلاَسْوَدِ فَسَاَلُهُ فَقاَلَ: فِيْهِ الْوُضُوْءُ، وَلِمُسْلِمٍ: يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأُ
Aku adalah seorang lelaki yang banyak mengeluarkan mazhi. Aku malu bertanya kepada Rasulullah SAW. maka saya suruh al-Miqdad Ibnu ‘l-Aswad menanyakan kepada beliau, maka jawab beliau: “Madzi itu mewajibkan wudhu’. Sedang menurut Muslim: “Hendaklah ia mencuci kemaluannya, lalu berwudhu.
Madzdza’: orang yang banyak mengeluarkan mazhi, yaitu cairan yang kuning bening, yang pada umumnya keluar ketika memuncaknya syahwat.
Dan al-Bukhari (155) meriwayatkan pula dari ‘Abdullah bin Mas’ud RA, dia berkata:
اَتىَ النَّبِيُّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْغَائِطَ، فَاَمَرَنِى اَنْ اَتِيَهُ بِثَلَثَةِ اَحْجَارٍ فَوَجَدْتُ حَجَرَيْنِ وَالْتَمَسْتُ الثّاَلِثُ فَلَمْ اَجِدْهُ، فَاَخَذْتُ رَوْثَةً فاتَيْتُهُ بها، فَاَخَذَ الحَجَرَيْنِ والقى الرَّوْثَةً وَقاَلَ: هَذَا رِكْسٌ.
Nabi SAW telah buang air besar, lalu menyuruh saya membawakan untuk beliau tiga butir batu. Tetapi saya hanya menemukan dua butir saja, dan saya mencari yang ketiga, namun tidak ada. Maka saya ambil tahi binatang, lalu saya bawa kepada beliau. Dua butir batu itu beliau ambil, sedang tahi binatang itu beliau buang, seraya bersabda: “Ini najis.”
Hadits-hadits tersebut menunjukkan bahwa benda-benda tersebut di atas adalah najis.
Semoga kita bisa menjaga tubuh dan pakaian kita dari najis sebelum kita melakukan ibadah pada Allah SWT.
“Sesungguhnya Allah Maha Indah mencintai keindahan, Allah Maha Baik menyukai kebaikan, Allah Maha Bersih mencintai kebersihan. Karena itu bersihkanlah teras rumah kalian dan janganlah kalian seperti orang-orang Yahudi” (HR.Tirmizi).
Bagian tubuh, benda atau barang yang terkena najis disebut mutanajjis. Benda yang terkena najis dapat dibersihkan sesuai dengan macam najisnya sebagai berikut:
1. Najis Mukhaffafah (najis ringan)
Najis ringan adalah najis yang cara membersihkannya cukup dengan dipercikkan air pada bagian yang terkena najis. Bentuk najis ini sebagaimana diungkap dalam hadits adalah air kencing bayi yang belum berumur 2 (dua) tahun dan belum pernah makan sesuatu kecuali air susu dari ibu-nya.
Al-Bukhari (2021) dan Muslim (287) telah meriwayatkan dari Ummu Qais binti Mihsab RA:
اَنَّهَا اَتَتْ باِبْنٍ لَهَا صَغِيْرٍ لَمْ يَأكُلِ الطَّعَامَ اِلىَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَالَ عَلَى ثَوْبِهِ، فَدَعَا بِمَاءٍ فَنَضَحَهُ وَلَمْ يَغْسِلْهُ
Artinya:
Bahwa wanita itu telah datang membawa seorang anaknya yang masih kecil, yang belum memakan makanan, kepada Rasulullah SAW. tiba-tiba anak itu kencing pada baju beliau. Maka beliau menyuruh ambilkan air, lalu beliau percikkan tanpa mencucinya.
2. Najis Mughallazhah (najis berat)
Najis berat adalah najis yang cara membersihkannya dengan dicuci sebanyak tujuh kali dan satu kali dilengkapi dengan tanah.
Yang dimaksud dengan najis berat ini adalah Najis (liur dan kotoran) Anjing serta Keturunannya.
Dalam hadits ‘Abdullah bin Mughoffal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِى الإِنَاءِ فَاغْسِلُوهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ وَعَفِّرُوهُ الثَّامِنَةَ فِى التُّرَابِ
Artinya:
Jika anjing menjilat (walagho) di salah satu bejana kalian, cucilah sebanyak tujuh kali dan gosoklah yang kedelapan dengan tanah (debu) (HR. Muslim no. 280).
Ada pendapat bahwa najis berat juga termasuk najis yang berasal dari babi, dengan pertimbangan karena perilaku babi lebih jorok/kotor dari pada anjing.
3. Najis Mutawassithah (najis pertengahan)
Najis Mutawassithah (najis pertengahan/sedang) adalah najis selain yang disebutkan sebagai najis ringan ataupun najis berat. Contohnya adalah segala sesuatu yang keluar dari kubul dan dubur manusia dan hewan, bangkai (kecuali ikan dan belalang), air susu hewan yang diharamkan untuk memakan dagingnya, khamar, dan lain sebagainya.
Najis Mutawassitah terdiri atas dua macam, yakni :
- Najis ‘Ainiyah : Jelas terlihat rupa, rasa atau tercium baunya.
- Najis Hukmiyah : Tidak jelas tampak rupa, rasa atau tercium baunya.
Untuk membersihkan najis mutawassithah ‘ainiyah caranya dengan dibasuh dengan air bersih hingga hilang benar najisnya. Sedangkan untuk najis hukmiyah dapat dibersihkan dengan dialirkan air di tempat yang kena najis.
Beberapa hadis yang menerangkan mengenai najis ini diantaranya:
Al-Bukhari (214) meriwayatkan dari Anas RA, dia berkata:
كاَنَ النَّبِيُّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِذَا تَبَرَّزَ لِحَاجَتِهِ اَتَيْتُهُ بِمَاءٍ فَيَغْسِلُ بِهِ
Apabila Nabi SAW keluar ke tanah lapang untuk memenuhi hajatnya, maka aku bawakan air untuk beliau, lalau beliau gunakan air itu untuk bersuci.
Tabarraza lihajatihi: keluar menuju al-baraz (tanah lapang), untuk memnuhi hajatnya, yaitu buang air kecil atau pun besar.
Dan juga al-Bukhari (176) dan Muslim (303) telah meriwayatkan dari Ali RA, dia berkata:
كُنْتُ رَجُلاً مَذَّاءً، فاَسْتَحْيَيْتُ اَنْ اَسْاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَاَمَرْتُ الْمِقْدَادَبْنَ اْلاَسْوَدِ فَسَاَلُهُ فَقاَلَ: فِيْهِ الْوُضُوْءُ، وَلِمُسْلِمٍ: يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأُ
Aku adalah seorang lelaki yang banyak mengeluarkan mazhi. Aku malu bertanya kepada Rasulullah SAW. maka saya suruh al-Miqdad Ibnu ‘l-Aswad menanyakan kepada beliau, maka jawab beliau: “Madzi itu mewajibkan wudhu’. Sedang menurut Muslim: “Hendaklah ia mencuci kemaluannya, lalu berwudhu.
Madzdza’: orang yang banyak mengeluarkan mazhi, yaitu cairan yang kuning bening, yang pada umumnya keluar ketika memuncaknya syahwat.
Dan al-Bukhari (155) meriwayatkan pula dari ‘Abdullah bin Mas’ud RA, dia berkata:
اَتىَ النَّبِيُّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْغَائِطَ، فَاَمَرَنِى اَنْ اَتِيَهُ بِثَلَثَةِ اَحْجَارٍ فَوَجَدْتُ حَجَرَيْنِ وَالْتَمَسْتُ الثّاَلِثُ فَلَمْ اَجِدْهُ، فَاَخَذْتُ رَوْثَةً فاتَيْتُهُ بها، فَاَخَذَ الحَجَرَيْنِ والقى الرَّوْثَةً وَقاَلَ: هَذَا رِكْسٌ.
Nabi SAW telah buang air besar, lalu menyuruh saya membawakan untuk beliau tiga butir batu. Tetapi saya hanya menemukan dua butir saja, dan saya mencari yang ketiga, namun tidak ada. Maka saya ambil tahi binatang, lalu saya bawa kepada beliau. Dua butir batu itu beliau ambil, sedang tahi binatang itu beliau buang, seraya bersabda: “Ini najis.”
Hadits-hadits tersebut menunjukkan bahwa benda-benda tersebut di atas adalah najis.
Semoga kita bisa menjaga tubuh dan pakaian kita dari najis sebelum kita melakukan ibadah pada Allah SWT.
“Sesungguhnya Allah Maha Indah mencintai keindahan, Allah Maha Baik menyukai kebaikan, Allah Maha Bersih mencintai kebersihan. Karena itu bersihkanlah teras rumah kalian dan janganlah kalian seperti orang-orang Yahudi” (HR.Tirmizi).
Cara Berwudhu
Wudhu menurut bahasa artinya Bersih dan Indah. sedangkan menurut istilah (syariah islam) artinya bersuci menggunakan air pada anggota badan tertentu dengan cara tertentu yang dimulai dengan niat guna menghilangkan hadats kecil.
Berwudhu merupakan syarat sah shalat, sebagaimana sabda Nabi Muhammad:
“Tidak diterima sholatmu tanpa Bersuci atau Wudhu" (HR. Muslim)
Tanpa berwudhu atau tidak sahnya wudhu seseorang dapat menyebabkan sholat yang ia kerjakan menjadi tidak sah, sedangkan sholat adalah salah satu rukun Islam yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Oleh karena itu, merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim untuk memperhatikan bagaimana dia berwudhu yang baik dan benar.
Fardhu-fardhu Wudhu’
Perlu diketahui bahwa dari langkah-lamgkah dalam cara wudhu sebagaimana disampaikan di atas ada yang yang sifatnya wajib/fardhu sehingga tidak boleh dilewatkan ketika berwudhu, yaitu:
Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wata’aala :
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, ... "(Surat al-Maaidah : 6)
Cara Berwudhu
Berikut ini adalah cara berwudhu yang dijelaskan dari buku "Risalah Tuntunan Shalat Lengkap (Drs. Moh. Rifa'i)" Cetakan 2011 Edisi Yang Disepurnakan.
1. Membaca “Bismillahir-rah maanir-rahim” sambil mencuci kedua belah tangan sampai dengan pergelangan tangan hingga bersih.
2. Selesai membersihkan tangan terus berkumur-kumur tiga kali, sambil membersihkan gigi.
3. Selesai berkumur terus mencuci lubang hidung tiga kali.
4. Selesai mencuci lubang hidung terus mencuci muka sebanyak tiga kali, mulai dari tempat tumbuhnya rambut kepala hingga ke bawah dagu, dan dari telinga kanan hingga ke telinga kiri, sambil membaca niat wudhu sebagai berikut :
Artinya:
“Aku berniat berwudhu untuk menghilangkan hadats kecil, fardhu karena Allah”
(Catatan: Niat cukup diqashadkan (dihadirkan) dalam hati, tidak harus diucapkan. Bila ingin lebih sempurna, maka niat tersebut dapat dilafazkan)
5. Setelah membasuh muka (mencuci muka), lalu mencuci kedua belah tangan sampai ke siku-siku tiga kali.
6. Setalah mencuci kedua belah tangan, terus menyapu sebagian rambut kepala tiga kali
7. Setelah menyapu sebagian rambut kepala, terus menyapu kedua belah telinga tiga kali
8. Dan yang terakhir mencuci kedua belah kaki tiga kali, dari/sampai mata kaki.
Setelah berwudhu kemudian selanjutnya dianjurkan membaca doa.
Doa Setelah Wudhu
“Asyhadu allaa ilaaha illallaah, wahdahu laa syariika lahu, wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhu wa Rasuuluhu. Allahumma j’alnii minat tawwabiina, waj’alnii minal mutathahiriina waj’alnii min ‘ibaadikash shalihiin”
Artinya:
Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan tidak ada yang menyekutukanNya. Aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya. Ya Allah, jadikanlah aku orang yang ahli bertobat, jadikanlah aku orang yang suci, dan jadikanlah aku dari golongan orang-orang yang saleh.
Berdoa setelah wudhu diajurkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana sabdanya:
“Tidaklah seorang di antara kalian berwudhu, lalu menyempurnakan wudhunya, kemudian berdo’a:
Melainkan dibukakan baginya delapan pintu Surga. Dia memasukinya dari arah mana saja yang ia kehendaki.” (HR. Muslim)
Sholat Sunnah Wudhu
Selain membaca do'a, setelah wudhu juga disunahkan juga untuk melaksanakan sholat sunnah wudhu.
Berwudhu merupakan syarat sah shalat, sebagaimana sabda Nabi Muhammad:
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
Tanpa berwudhu atau tidak sahnya wudhu seseorang dapat menyebabkan sholat yang ia kerjakan menjadi tidak sah, sedangkan sholat adalah salah satu rukun Islam yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Oleh karena itu, merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim untuk memperhatikan bagaimana dia berwudhu yang baik dan benar.
Fardhu-fardhu Wudhu’
Perlu diketahui bahwa dari langkah-lamgkah dalam cara wudhu sebagaimana disampaikan di atas ada yang yang sifatnya wajib/fardhu sehingga tidak boleh dilewatkan ketika berwudhu, yaitu:
- Membasuh muka, tercakup di dalamnya berkumur-kumur dan istinsyaaq (memasukkan air ke hidung).
- Membasuh kedua tangan sampai kedua siku.
- Mengusap kepala (termasuk kedua telinga), karena kedua telinga termasuk bagian dari kepala.
- Membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki.
Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wata’aala :
يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَوٰةِ فَاغْسِلُوا۟ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا۟ بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
Artinya:Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, ... "(Surat al-Maaidah : 6)
Cara Berwudhu
Berikut ini adalah cara berwudhu yang dijelaskan dari buku "Risalah Tuntunan Shalat Lengkap (Drs. Moh. Rifa'i)" Cetakan 2011 Edisi Yang Disepurnakan.
1. Membaca “Bismillahir-rah maanir-rahim” sambil mencuci kedua belah tangan sampai dengan pergelangan tangan hingga bersih.
2. Selesai membersihkan tangan terus berkumur-kumur tiga kali, sambil membersihkan gigi.
3. Selesai berkumur terus mencuci lubang hidung tiga kali.
4. Selesai mencuci lubang hidung terus mencuci muka sebanyak tiga kali, mulai dari tempat tumbuhnya rambut kepala hingga ke bawah dagu, dan dari telinga kanan hingga ke telinga kiri, sambil membaca niat wudhu sebagai berikut :
نَوَيْتُ الْوُضُوْءَ لِرَفْعِ الْحَدَثِ اْلاَصْغَرِ فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى
“Nawaitul Wudhlu-a lifrafil hadatsil ash-ghari fardhal lillahi Ta’aala”Artinya:
“Aku berniat berwudhu untuk menghilangkan hadats kecil, fardhu karena Allah”
(Catatan: Niat cukup diqashadkan (dihadirkan) dalam hati, tidak harus diucapkan. Bila ingin lebih sempurna, maka niat tersebut dapat dilafazkan)
5. Setelah membasuh muka (mencuci muka), lalu mencuci kedua belah tangan sampai ke siku-siku tiga kali.
6. Setalah mencuci kedua belah tangan, terus menyapu sebagian rambut kepala tiga kali
7. Setelah menyapu sebagian rambut kepala, terus menyapu kedua belah telinga tiga kali
8. Dan yang terakhir mencuci kedua belah kaki tiga kali, dari/sampai mata kaki.
Setelah berwudhu kemudian selanjutnya dianjurkan membaca doa.
Doa Setelah Wudhu
أَشْهَدُ اَنْ لاَإِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِنَ التَّوَّابِيْنَ وَاجْعَلْنِي مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَوَجْعَلْنَيْ مِن عِبَادِكَ الصَّالِحِيْنَ
Artinya:
Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan tidak ada yang menyekutukanNya. Aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya. Ya Allah, jadikanlah aku orang yang ahli bertobat, jadikanlah aku orang yang suci, dan jadikanlah aku dari golongan orang-orang yang saleh.
Berdoa setelah wudhu diajurkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana sabdanya:
“Tidaklah seorang di antara kalian berwudhu, lalu menyempurnakan wudhunya, kemudian berdo’a:
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
(“Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak dibadahi dengan benar kecuali Allah. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.”)Melainkan dibukakan baginya delapan pintu Surga. Dia memasukinya dari arah mana saja yang ia kehendaki.” (HR. Muslim)
Sholat Sunnah Wudhu
Selain membaca do'a, setelah wudhu juga disunahkan juga untuk melaksanakan sholat sunnah wudhu.
Akil Baligh
Secara bahasa "akil baligh" berasal dari kata dalam bahasa arab, yaitu 'aqala yang berarti "berakal, mengetahui, atau memahami" dan balagha yang berarti "sampai". Akil baligh adalah seseorang yang sudah sampai pada usia tertentu untuk dibebani hukum syariat (taklif) dan mampu mengetahui atau mengerti hukum tersebut, suatu masa dimana amalan seorang insan manusia akan mulai dicatat oleh Allah (melalui malaikat-malaikatnya).
Adapun orang yang telah akil baligh juga disebut dengan istilah mukallaf.
Tanda-tanda seseorang telah mencapai masa akil baligh ditandai dengan beberapa keadaan sebagai berikut:
Hj Afwah Mumtazah, M.Pd.I dalam artikel www.rahima.or.id yang berjudul "Pemaknaan Baligh versus Dewasa dalam Beragam Konteks : Dirasah Hadis Edisi 49" menjelaskan tanda-tanda akil sebagaimana dimaksud di atas sebagai berikut:
1. Adanya menstruasi (haidh) bagi anak perempuan minimal pada saat usia 9 tahun
لا يقبل الله صلاة امراْة قد حا ضت الا بحما
Artinya:
“Allah tidak menerima shalat perempuan haid, kecuali ia telah berkerudung.” (HR. Ibnu Huzaimah dari Aisyah).
Maksud kata khimar/berkerudung adalah pakaian yang ditujukan untuk perempuan yang sudah baligh. Ketika shalat perempuan diwajibkan menutup kepala, leher dan dada.
2. Mimpi Basah / Ihtilam ( mimpi bersenggama hingga mengeluarkan seperma (atau dalam keadaan sadar keluar mani karena khayalan, terangsang oleh bacaan/ gambar) bagi laki-laki dan perempuan. Dalilnya adalah:
a) Q.S An Nur, 24 : 59
وادا بلغ الا طفال الحام فليستأدنوا كما استأد ن الدين من قبلهم
Artinya:
“Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur dewasa, maka hendaklah mereka juga minta izin seperti orang lebih dewasa meminta izin. “
b) عن علي كرم الله وجهه قال : كنت رجلا مداء فسألت ان البي صلي الله عليه وسلم فقال في المدي الوضوْ وفي المني الغسل
Artinya:
“Dari Ali ra. berkata pada kita laki-laki ada madzi, maka saya bertanya pada Rasul, dan beliau menjawab: dalam madzi (lakukan ) wudhu dan di dalam mani ( lakukan ) mandi.”
c) عن حولة بنت حكيم أنها سألت النبي صلي الله عليه وسلم عن المرأة تري في منا مها ما يري الرجل فقال : ايس عليها غسل حتي تنزل كما ان الرجل ليس عليها غسل حتي ينزل
Artinya:
Dari Haulah binti Hakim bertanya kepada Nabi tentang perempuan yang bermimpi sebagaimana laki-laki bermimpi, maka Rasul menjawab: ”Tidak diwajibkan mandi sehingga ia (perempuan itu) mengeluarkan mani, sebagaimana laki-laki tidak wajib mandi sehingga ia keluar sperma.” ( H.R Ahmad dan Nasai’)
d) Perkataan Ibnu Hajar:
وقد اجمع العلما ءعلي ان الاحتلام في الرجال والنسا ء يلزم به العبادات والحدود وسا ئرالاْ حكام
Artinya;
Para ulama sepakat bahwa ihtilam pada laki-laki dan perempuan mewajibkan diberlakukannya ibadah, huduud, dan seluruh perkara-perkara yang terkait dengan hukum (Fathul Baary, 5/ 277)
e) رفع القلم عن ثلاثة عن النائم حتى يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم وعن المجنون حتى يعقل
Artinya:
”Diangkat pena (tidak dikenakan kewajiban) pada tiga orang, yaitu : orang yang tidur hingga bangun, anak kecil hingga ihtilam, dan orang gila hingga berakal” [HR. Abu Dawud no. 4403 dan At-Tirmidzi no. 1423; shahih]
f) Adanya rambut kemaluan
عن سمره ان النبي صل الله عليه وسلم : اقتلوا شيوخ المشركين واستحيوا شرحهم والشرح الغلمان
الدين لم ينبثوا
Artinya:
Dari Samrah, sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: "Bunuhlah oleh kalian orang musyrik dewasa, dan biarkan hidup di antara mereka syarkhu."/yang belum tumbuh kemaluannya. (HR. At Tirmidzi)
Imam Syafii yang mazhabnya diikuti oleh mayoritas muslim di Indonesia mengatakan bahwa adanya rambut kemaluan adalah tanda baligh yang ditujukan untuk orang kafir, bukan untuk muslim. Sementara untuk tanda-tanda baligh sebagaimana dikutip dari kitab Safinatunnajah, beliau memfatwakan tanda baligh dalam tiga macam.
علامات البلوغ ثلاث : تمام خمسة عشرة سنة فى الدكر و الاْنثي و الاحتلام في اللدكر والاْنثي
لتسع سنين والحيض لتسع سنين
Artinya:
Tanda-tanda baligh ada tiga : 1) Telah mencapai umur 15 tahun (hijriyah) untuk laki-laki dan perempuan, 2) Mimpi basah bagi laki-laki dan perempuan, dan 3) Haid untuk perempuan yang berumur 9 tahun
3. Telah berumur lima belas tahun bagi laki-laki dan perempuan, meski tidak didahului ihtilam atau menstruasi. Ini berdasar hadis “Ibnu Umar Raodhiyallah ‘anhuma:
عرضني رسول الله صلي الله عليه وسلم يوم احد في القتال وانا ابن اربع عشرة سنة فلم يجزني و عرضني يوم الحندق وانا ابن عشرة سنة فاْجزني
Artinya:
“Aku telah mengajukan diri kepada Nabi saw. untuk ikut perang Uhud ketika aku berumur 14 tahun, dan beliau tidak mengizinkan aku. Aku mengajukan diri lagi kepada beliau tatkala perang Khandak ketika umurku 15 tahun, dan beliau membolehkan aku (untuk mengikuti perang)”. (Shahih Bukhori, no.2664 dan Shahih Muslim, no.1868)
Dawud adh-Dhahiri berpendapat bahwa tidak ada batasan tertentu untuk usia baligh. Batasan yang benar adalah hanyalah ihtilaam, ini adalah pendapat yang paling kuat.
Adapun orang yang telah akil baligh juga disebut dengan istilah mukallaf.
Tanda-tanda seseorang telah mencapai masa akil baligh ditandai dengan beberapa keadaan sebagai berikut:
- Adanya menstruasi (haidh) bagi anak perempuan
- Mimpi Basah / Ihtilam
- Telah berumur lima belas tahun bagi laki-laki dan perempuan,
Hj Afwah Mumtazah, M.Pd.I dalam artikel www.rahima.or.id yang berjudul "Pemaknaan Baligh versus Dewasa dalam Beragam Konteks : Dirasah Hadis Edisi 49" menjelaskan tanda-tanda akil sebagaimana dimaksud di atas sebagai berikut:
1. Adanya menstruasi (haidh) bagi anak perempuan minimal pada saat usia 9 tahun
لا يقبل الله صلاة امراْة قد حا ضت الا بحما
Artinya:
“Allah tidak menerima shalat perempuan haid, kecuali ia telah berkerudung.” (HR. Ibnu Huzaimah dari Aisyah).
Maksud kata khimar/berkerudung adalah pakaian yang ditujukan untuk perempuan yang sudah baligh. Ketika shalat perempuan diwajibkan menutup kepala, leher dan dada.
2. Mimpi Basah / Ihtilam ( mimpi bersenggama hingga mengeluarkan seperma (atau dalam keadaan sadar keluar mani karena khayalan, terangsang oleh bacaan/ gambar) bagi laki-laki dan perempuan. Dalilnya adalah:
a) Q.S An Nur, 24 : 59
وادا بلغ الا طفال الحام فليستأدنوا كما استأد ن الدين من قبلهم
Artinya:
“Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur dewasa, maka hendaklah mereka juga minta izin seperti orang lebih dewasa meminta izin. “
b) عن علي كرم الله وجهه قال : كنت رجلا مداء فسألت ان البي صلي الله عليه وسلم فقال في المدي الوضوْ وفي المني الغسل
Artinya:
“Dari Ali ra. berkata pada kita laki-laki ada madzi, maka saya bertanya pada Rasul, dan beliau menjawab: dalam madzi (lakukan ) wudhu dan di dalam mani ( lakukan ) mandi.”
c) عن حولة بنت حكيم أنها سألت النبي صلي الله عليه وسلم عن المرأة تري في منا مها ما يري الرجل فقال : ايس عليها غسل حتي تنزل كما ان الرجل ليس عليها غسل حتي ينزل
Artinya:
Dari Haulah binti Hakim bertanya kepada Nabi tentang perempuan yang bermimpi sebagaimana laki-laki bermimpi, maka Rasul menjawab: ”Tidak diwajibkan mandi sehingga ia (perempuan itu) mengeluarkan mani, sebagaimana laki-laki tidak wajib mandi sehingga ia keluar sperma.” ( H.R Ahmad dan Nasai’)
d) Perkataan Ibnu Hajar:
وقد اجمع العلما ءعلي ان الاحتلام في الرجال والنسا ء يلزم به العبادات والحدود وسا ئرالاْ حكام
Artinya;
Para ulama sepakat bahwa ihtilam pada laki-laki dan perempuan mewajibkan diberlakukannya ibadah, huduud, dan seluruh perkara-perkara yang terkait dengan hukum (Fathul Baary, 5/ 277)
e) رفع القلم عن ثلاثة عن النائم حتى يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم وعن المجنون حتى يعقل
Artinya:
”Diangkat pena (tidak dikenakan kewajiban) pada tiga orang, yaitu : orang yang tidur hingga bangun, anak kecil hingga ihtilam, dan orang gila hingga berakal” [HR. Abu Dawud no. 4403 dan At-Tirmidzi no. 1423; shahih]
f) Adanya rambut kemaluan
عن سمره ان النبي صل الله عليه وسلم : اقتلوا شيوخ المشركين واستحيوا شرحهم والشرح الغلمان
الدين لم ينبثوا
Artinya:
Dari Samrah, sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: "Bunuhlah oleh kalian orang musyrik dewasa, dan biarkan hidup di antara mereka syarkhu."/yang belum tumbuh kemaluannya. (HR. At Tirmidzi)
Imam Syafii yang mazhabnya diikuti oleh mayoritas muslim di Indonesia mengatakan bahwa adanya rambut kemaluan adalah tanda baligh yang ditujukan untuk orang kafir, bukan untuk muslim. Sementara untuk tanda-tanda baligh sebagaimana dikutip dari kitab Safinatunnajah, beliau memfatwakan tanda baligh dalam tiga macam.
علامات البلوغ ثلاث : تمام خمسة عشرة سنة فى الدكر و الاْنثي و الاحتلام في اللدكر والاْنثي
لتسع سنين والحيض لتسع سنين
Artinya:
Tanda-tanda baligh ada tiga : 1) Telah mencapai umur 15 tahun (hijriyah) untuk laki-laki dan perempuan, 2) Mimpi basah bagi laki-laki dan perempuan, dan 3) Haid untuk perempuan yang berumur 9 tahun
3. Telah berumur lima belas tahun bagi laki-laki dan perempuan, meski tidak didahului ihtilam atau menstruasi. Ini berdasar hadis “Ibnu Umar Raodhiyallah ‘anhuma:
عرضني رسول الله صلي الله عليه وسلم يوم احد في القتال وانا ابن اربع عشرة سنة فلم يجزني و عرضني يوم الحندق وانا ابن عشرة سنة فاْجزني
Artinya:
“Aku telah mengajukan diri kepada Nabi saw. untuk ikut perang Uhud ketika aku berumur 14 tahun, dan beliau tidak mengizinkan aku. Aku mengajukan diri lagi kepada beliau tatkala perang Khandak ketika umurku 15 tahun, dan beliau membolehkan aku (untuk mengikuti perang)”. (Shahih Bukhori, no.2664 dan Shahih Muslim, no.1868)
Dawud adh-Dhahiri berpendapat bahwa tidak ada batasan tertentu untuk usia baligh. Batasan yang benar adalah hanyalah ihtilaam, ini adalah pendapat yang paling kuat.
Hukum Shalat
Hukum shalat dapat dikategorikan sebagai berikut:
1. Fardu
Shalat fardhu ialah shalat yang diwajibkan kepada umat Islam untuk mengerjakannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“…sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (Qs. An-Nisa’: 103)
Shalat fardhu terbagi lagi menjadi dua, yaitu:
Sunnah
Shalat sunnah (shalat nafilah) adalah shalat-shalat yang dianjurkan atau disunnahkan akan tetapi tidak diwajibkan. Shalat sunnah terbagi lagi menjadi dua, yaitu:
Dalam riwayat Muslim :
1. Fardu
Shalat fardhu ialah shalat yang diwajibkan kepada umat Islam untuk mengerjakannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتَابًا مَوْقُوْتًا
“…sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (Qs. An-Nisa’: 103)
Shalat fardhu terbagi lagi menjadi dua, yaitu:
- Fardu ain adalah kewajiban yang diwajibkan kepada mukallaf langsung berkaitan dengan dirinya dan tidak boleh ditinggalkan ataupun dilaksanakan oleh orang lain, seperti shalat lima waktu, dan shalat Jumat (fardhu 'ain untuk pria).
- Fardu kifayah adalah kewajiban yang menjadi gugur, setelah ada sebagian orang mukallaf yang mengerjakannya. Akan tetapi bila tidak ada seorang pun orang yang mengerjakannya maka menjadi berdosa bersama. Ibadah yang termasuk Fardu kifayah ini adalah shalat jenazah (termasuk menguburkannya).
Sunnah
Shalat sunnah (shalat nafilah) adalah shalat-shalat yang dianjurkan atau disunnahkan akan tetapi tidak diwajibkan. Shalat sunnah terbagi lagi menjadi dua, yaitu:
- Sunnah muakkad adalah shalat sunnah yang dianjurkan dengan penekanan yang kuat (hampir mendekati wajib), seperti shalat dua hari raya, shalat sunah witir dan salat sunah thawaf.
- Sunnah ghairu muakkad adalah shalat sunnah yang dianjurkan tanpa penekanan yang kuat, seperti shalat sunah Rawatib dan shalat sunnah yang sifatnya insidentil (tergantung waktu dan keadaan, seperti salat kusuf/khusuf hanya dikerjakan ketika terjadi gerhana).
Kepada Siapa Shalat Diwajibkan?
Shalat diwajibkan kepada tiap muslim yg mukallaf yakni yg telah baligh dan berakal. Adapun orang yg belum baligh dan tidak berakal gugurlah dari kewajiban tersebut. Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الْمُبْتَلَى حَتَّى يَبْرَأَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَكْبُرَ
“Diangkat pena dari tiga golongan: orang yg tidur sampai ia bangun orang gila sampai kembali akal atau sadar dan anak kecil hingga ia besar.”
Dengan demikian orang yang tidur dan pingsan orang gila dan anak kecil tidak dibebankan kewajiban shalat atas mereka sampai hilang penghalang yang ada. Yakni orang yg tertidur telah bangun dari tidur orang yg pingsan telah siuman dari pingsan orang gila telah pulih dari sakit gila atau telah kembali akal sedangkan anak kecil telah datang masa baligh di antara dengan tanda mimpi basah bagi anak laki-laki dan haid bagi anak perempuan.
Digugurkan kewajiban shalat ini dari wanita yang sedang haid dan nifas. Bahkan haram bagi mereka mengerjakan shalat sampai suci dari haid atau nifas. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika ada yg bertanya sebab kaum wanita dikatakan kurang agama dan akalnya:
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ، فَذَلِكَ نُقْصَانُ دِيْنِهَا
“Bukankah jika wanita itu haid ia tidak melaksanakan shalat dan tidak puasa. maka itulah yang dikatakan kurang agamanya.”
Terhadap shalat yang mereka tinggalkan dalam masa keluar darah tersebut tidak ada keharusan untuk mengganti di hari yang lain saat suci berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika ada seorang wanita berta kepadanya: “Apakah salah seorang dari kami harus mengqadha shalat bila telah suci dari haid?” Aisyah pun bertanya dengan nada mengingkari: “Apakah engkau wanita Haruriyah? Kami dulu haid di masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam namun beliau tidak memerintahkan kami untuk mengganti shalat.”
Faedah
Orang yang tertidur atau lupa hingga terluputkan shalat wajib dari maka ia mengerjakan shalat yang luput tersebut ketika terbangun atau ketika ia ingat. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ نَسِيَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا
“Siapa lupa dari mengerjakan satu shalat maka hendaklah ia kerjakan shalat tersebut ketika ingat.”
Dalam riwayat Muslim :
إِذَا رَقَدَ أَحَدُكُمْ عَنِ الصَّلاَةِ أَوْ غَفَلَ عَنْهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا
“Apabila salah seorang dari kalian tertidur hingga luput dari mengerjakan satu shalat atau ia lupa maka hendaklah ia menunaikan shalat tersebut ketika ia ingat .”
Pengertian Shalat
Secara bahasa shalat berasal dari bahasa Arab yang memiliki arti, do'a. Sedangkan, menurut istilah, shalat bermakna serangkaian kegiatan ibadah khusus atau tertentu yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Shalat adalah Suatu ibadah kepada Tuhan, berupa perkataan dengan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan syara’ berupa penyerahan diri secara lahir batin kepada Allah dalam rangkah ibadah dan memohon ridho-Nya.
Shalat merupakan rukun islam yang kedua, dan menjadi tiang agama (hal yang paling pokok). Sebagaimana Sabda Rasulullah SAW:
"Ashshalatu ‘imaduddin, fa man aqamaha faqad aqamaddin, waman hada maha faqad hada maddin"
Artinya:
Shalat itu ialah tiang agama, maka barang siapa yang mendirikannya maka sungguh ia telah menegakkan agama, dan barang siapa yang meninggalkannya sungguh mereka telah meruntuhkan agama.” (H.R Bukhari dari Umar R.A)
Sa'id Abu Ukkasyah, dalam muslim.or.id menjelaskan :
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperumpamakan shalat dengan perumpamaan yang sangat indah, yang menunjukkan bahwa ia adalah sebuah kebutuhan dan kegembiraan hati orang-orang yang beriman, karena dengannya Allah menghapuskan dosa hamba-Nya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
- Secara lahiriah Shalat berarti ‘Beberapa ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan di akhiri dengan salam, yang dengannya kita beribadah kepada Allah menurut syarat-syarat yang telah ditentukan’(Sidi Gazalba,88).
- Secara hakiki Shalat ialah ‘Berhadapan hati, jiwa dan raga kepada Allah,secara yang mendatangkan rasa takut kepada-Nya atau mendhairkan hajat dan keperluan kita kepada Allah yang kita sembah dengan perkataan dan perbuatan’ (Hasbi Asy-syidiqi,59)
- Dalam pengertian lain Shalat ialah salah satu sarana komunikasi antara hamba dengan Tuhannya sebagai bentuk ibadah yang didalamnya merupakan amalan yang tersusun dari beberapa perkataan dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, serta sesuai dengan syarat dan rukun yang telah ditentukan syara’ (Imam Basyahri Assayuthi,30).
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Shalat adalah Suatu ibadah kepada Tuhan, berupa perkataan dengan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan syara’ berupa penyerahan diri secara lahir batin kepada Allah dalam rangkah ibadah dan memohon ridho-Nya.
Shalat merupakan rukun islam yang kedua, dan menjadi tiang agama (hal yang paling pokok). Sebagaimana Sabda Rasulullah SAW:
الصلاة عماد الدين, فمن اقامها فقد اقام الدين ومن هدمها فقد هدم الدين
"Ashshalatu ‘imaduddin, fa man aqamaha faqad aqamaddin, waman hada maha faqad hada maddin"
Artinya:
Shalat itu ialah tiang agama, maka barang siapa yang mendirikannya maka sungguh ia telah menegakkan agama, dan barang siapa yang meninggalkannya sungguh mereka telah meruntuhkan agama.” (H.R Bukhari dari Umar R.A)
Sa'id Abu Ukkasyah, dalam muslim.or.id menjelaskan :
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperumpamakan shalat dengan perumpamaan yang sangat indah, yang menunjukkan bahwa ia adalah sebuah kebutuhan dan kegembiraan hati orang-orang yang beriman, karena dengannya Allah menghapuskan dosa hamba-Nya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهَرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ ، يَغْتَسِلُ فِيهِ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسًا ، مَا تَقُولُ ذَلِكَ يُبْقِى مِنْ دَرَنِهِ ؟ ». قَالُوا :لاَ يُبْقِى مِنْ دَرَنِهِ شَيْئًا . قَالَ: « فَذَلِكَ مثل الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ ، يَمْحُو اللَّهُ بِهَا الْخَطَايَا »
Artinya:
“Tahukah kalian, seandainya ada sebuah sungai di dekat pintu salah seorang di antara kalian, lalu ia mandi dari air sungai itu setiap hari lima kali, menurut Anda, apakah itu akan menyisakan kotorannya? Para sahabat menjawab, ‘Tidak menyisakan sedikit pun kotorannya.’ Beliau bersabda, ‘Maka begitulah perumpamaan shalat lima waktu, dengannya Allah menghapuskan dosa-dosa (hamba-Nya)’” (HR. Bukhari dan Muslim).
Oleh karena itu, pantas jika shalat yang dilakukan dengan baik bisa mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
Artinya:
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar” (Al-‘Ankabuut:45).
Shalat memang membuahkan ketakwaan, karena mendorong pelakunya untuk senantiasa ingat Allah dari waktu ke waktu, di tengah-tengah kesibukannya dengan dunia dan di tengah-tengah kelalaian serta kegersangan hatinya, Allah Ta’ala berfirman,
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
Artinya:
“Dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku” (Thaha:14).
Shalat yang merupakan salah satu komponen utama dalam bangunan Islam, hendaknya kita kuatkan, kokohkan, agar bangunan Islam yang kita bernaung di dalamnya tidak mudah roboh dan dirobohkan. Mari kita tingkatkan kebaikan-kebaikan dalam shalat kita dengan melaksanakannya secara khusyu’, berjamaah di masjid bagi laki-laki, dan tepat waktu.
Do'a Qunut
Do'a Qunut adalah doa yang dibaca pada shalat subuh dan shalat witir pada waktu i'tidal akhir (berdiri dari ruku').
Kata Qunut sendiri berasal dari kata "Qanata" yang artinya patuh dalam mengabdi (kepada Allah). Adapun hukum membaca doa qunut adalah sunnah muakkad (ab'ad) atau sunnah yang diperkuat. Namun para imam dan ulama mazhab berbeda pendapat tentang pelaksanaan doa qunut.
Lafadz doa qunut
Allah hummah dinii fiiman hadait.
Wa'aa finii fiiman 'aafait.
Watawallanii fiiman tawal-laiit.
Wabaariklii fiimaa a'thait.
Waqinii syarramaa qadhait.
Fainnaka taqdhii walaa yuqdha 'alaik.
Wainnahu laayadzilu man walait.
Walaa ya'izzu man 'aadait.
Tabaa rakta rabbanaa wata'aalait.
Falakalhamdu 'alaa maaqadhait.
Astaghfiruka wa'atuubu ilaik.
Wasallallahu 'ala Sayyidina Muhammadin nabiyyil ummiyyi. Wa'alaa aalihi washahbihi Wasallam.
Artinya :
Ya Allah tunjukkanlah akan daku sebagaiman mereka yang telah Engkau tunjukkan
Dan berilah kesihatan kepadaku sebagaimana mereka yang Engkau telah berikan kesihatan
Dan peliharalah daku sebagaimana orang yang telah Engkau peliharakan
Dan berilah keberkatan bagiku pada apa-apa yang telah Engkau kurniakan
Dan selamatkan aku dari bahaya kejahatan yang Engkau telah tentukan
Maka sesungguhnya Engkaulah yang menghukum dan bukan kena hukum
Maka sesungguhnya tidak hina orang yang Engkau pimpin
Dan tidak mulia orang yang Engkau memusuhinya
Maha Suci Engkau wahai Tuhan kami dan Maha tinggi Engkau
Maha bagi Engkau segala pujian di atas yang Engkau hukumkan
Ku memohon ampun dari Engkau dan aku bertaubat kepada Engkau
(Dan semoga Allah) mencurahkan rahmat dan sejahtera ke atas junjungan kami Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Bacaan doa qunut di atas adalah untuk sholat sendirian (Bacaannya : Allah hummah DINII fiiman hadait). Namun, apabila Anda menjadi imam, maka bacaannya diganti (Bacanya : Allah hummah DINAA fiiman hadait) dan seterusnya. Karena makna kata "NII" (DINII) merujuk kepada diri sendiri (Saya) dan kata "NA" (DINA) merujuk kepada orang banyak (Kita).
Sehingga lafadz doa qunut yang dibaca oleh imam dalam shalat berjamaah sebagai berikut:
Allahummahdinaa fiiman hadait,
Wa'aafinaa fiiman 'aafait,
Watawallanaa fiiman tawal-laiit,
Wabaarik lii fiimaa a'thoit,
Wa qinaa birohmatika syarrama qadait,
Fainnaka taqdii walaa yuqda 'alaik
Wainnahu laa yadzillu man walait,
Walaa ya'izzu man 'aadait
Tabaa rakta rabbana wata'aalait
Falakal hamdu 'alaa maa qadhait
Astagfiruka wa'atuubu ilaik,
wasallallahu 'alaa sayyidina Muhammadin nabiyyil ummiyyi wa'alaa alihi washahbihi wasallam.
Pendapat Imam Mazhab soal Qunut
Ulasan soal pendapat imam-imam di atas sebagaimana ditulis oleh Muhammad Abduh Tuasikal, MSc. dalam Rumaysho.com adalah sebagai berikut:
a. Ulama Mazhab Syafi’iyyah
Bahwasanya tidak ada bacaan doa qunut dalam shalat witir kecuali ketika separuh dari akhir bulan Ramadhan. Adapun pendapatnya dalam hal sholat lima waktu, mereka berpendapat tidak ada qunut selain pada saat shalat shubuh yang mana berlaku dalam semua keadaan, yakni itu baik kondisi kaum muslimin dalam keadaan tertimpa musibah atau pun tidak sama sekali. Dan qunut juga dapat dilakukan pada selain shalat shubuh bila mana kaum muslimin sedang tertimpa musibah (yaitu disebut juga dengan qunut nazilah).
b. Hanabilah (Hambali)
Qunut disyari’atkan dalam salat witir. Adapun pada shalat lainnya mereka berpendapat bahwa tidak disyariatkan kecuali terjadi musibah yang dianggap besar, selain dari musibah penyakit. Nah, baru bila terjadi keadaan yang sebagaimana dimaksud barulah bacaan qunut dapat dibaca pada salat lima waktu, kecuali pada hari Jum’at tidak dilakukan.
C. Imam Ahmad
Beliau sendiri memberikan pendapatnya bahwa tidak ditemukan dalil yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad saw. pernah ber-qunut witir sebelum atau pun sesudah ruku’.
D. Ulama Hanafiyyah
Disunnahkan baca doa qunut pada shalat sunnah witir. Namun, tidak disyariatkan membaca qunut pada waktu shalat lainnya, kecuali pada saat nawaazil, yakni dimana kaum muslimin sedang tertimpa musibah, namun demikian pelaksanaan qunut nawaazil ini hanya boleh pada waktu shalat shubuh saja dan yang membacanya adalah imam sholat, lalu diaminkan oleh makmum, dan disebutkan juga bahwa tidak ada qunut jika itu shalatnya sendirian.
Adapun Ulama Malikiyah berpendapat bahwa Qunut hanya dilakukan pada shalat subuh saja, sedang saat sunnah witir dan shalat lainnya tidak dilakukan.
Wallahu A'lam Bishawab
Kata Qunut sendiri berasal dari kata "Qanata" yang artinya patuh dalam mengabdi (kepada Allah). Adapun hukum membaca doa qunut adalah sunnah muakkad (ab'ad) atau sunnah yang diperkuat. Namun para imam dan ulama mazhab berbeda pendapat tentang pelaksanaan doa qunut.
Lafadz doa qunut
اَللّهُمَّ اهْدِنِىْ فِيْمَنْ هَدَيْتَ
وَعَافِنِى فِيْمَنْ عَافَيْتَ
وَتَوَلَّنِىْ فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ
وَبَارِكْ لِىْ فِيْمَا اَعْطَيْتَ
وَقِنِيْ شَرَّمَا قََضَيْتَ،
فَاِ نَّكَ تَقْضِىْ وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ
وَاِ نَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ
وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ
تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ
فَلَكَ الْحَمْدُ عَلَى مَا قَضَيْتَ
وَاَسْتَغْفِرُكَ وَاَتُوْبُ اِلَيْكَ
وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدَنَا مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ اْلاُمِّيِّ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ
Allah hummah dinii fiiman hadait.
Wa'aa finii fiiman 'aafait.
Watawallanii fiiman tawal-laiit.
Wabaariklii fiimaa a'thait.
Waqinii syarramaa qadhait.
Fainnaka taqdhii walaa yuqdha 'alaik.
Wainnahu laayadzilu man walait.
Walaa ya'izzu man 'aadait.
Tabaa rakta rabbanaa wata'aalait.
Falakalhamdu 'alaa maaqadhait.
Astaghfiruka wa'atuubu ilaik.
Wasallallahu 'ala Sayyidina Muhammadin nabiyyil ummiyyi. Wa'alaa aalihi washahbihi Wasallam.
Artinya :
Ya Allah tunjukkanlah akan daku sebagaiman mereka yang telah Engkau tunjukkan
Dan berilah kesihatan kepadaku sebagaimana mereka yang Engkau telah berikan kesihatan
Dan peliharalah daku sebagaimana orang yang telah Engkau peliharakan
Dan berilah keberkatan bagiku pada apa-apa yang telah Engkau kurniakan
Dan selamatkan aku dari bahaya kejahatan yang Engkau telah tentukan
Maka sesungguhnya Engkaulah yang menghukum dan bukan kena hukum
Maka sesungguhnya tidak hina orang yang Engkau pimpin
Dan tidak mulia orang yang Engkau memusuhinya
Maha Suci Engkau wahai Tuhan kami dan Maha tinggi Engkau
Maha bagi Engkau segala pujian di atas yang Engkau hukumkan
Ku memohon ampun dari Engkau dan aku bertaubat kepada Engkau
(Dan semoga Allah) mencurahkan rahmat dan sejahtera ke atas junjungan kami Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Bacaan doa qunut di atas adalah untuk sholat sendirian (Bacaannya : Allah hummah DINII fiiman hadait). Namun, apabila Anda menjadi imam, maka bacaannya diganti (Bacanya : Allah hummah DINAA fiiman hadait) dan seterusnya. Karena makna kata "NII" (DINII) merujuk kepada diri sendiri (Saya) dan kata "NA" (DINA) merujuk kepada orang banyak (Kita).
Sehingga lafadz doa qunut yang dibaca oleh imam dalam shalat berjamaah sebagai berikut:
Allahummahdinaa fiiman hadait,
Wa'aafinaa fiiman 'aafait,
Watawallanaa fiiman tawal-laiit,
Wabaarik lii fiimaa a'thoit,
Wa qinaa birohmatika syarrama qadait,
Fainnaka taqdii walaa yuqda 'alaik
Wainnahu laa yadzillu man walait,
Walaa ya'izzu man 'aadait
Tabaa rakta rabbana wata'aalait
Falakal hamdu 'alaa maa qadhait
Astagfiruka wa'atuubu ilaik,
wasallallahu 'alaa sayyidina Muhammadin nabiyyil ummiyyi wa'alaa alihi washahbihi wasallam.
Pendapat Imam Mazhab soal Qunut
Ulasan soal pendapat imam-imam di atas sebagaimana ditulis oleh Muhammad Abduh Tuasikal, MSc. dalam Rumaysho.com adalah sebagai berikut:
a. Ulama Mazhab Syafi’iyyah
Bahwasanya tidak ada bacaan doa qunut dalam shalat witir kecuali ketika separuh dari akhir bulan Ramadhan. Adapun pendapatnya dalam hal sholat lima waktu, mereka berpendapat tidak ada qunut selain pada saat shalat shubuh yang mana berlaku dalam semua keadaan, yakni itu baik kondisi kaum muslimin dalam keadaan tertimpa musibah atau pun tidak sama sekali. Dan qunut juga dapat dilakukan pada selain shalat shubuh bila mana kaum muslimin sedang tertimpa musibah (yaitu disebut juga dengan qunut nazilah).
b. Hanabilah (Hambali)
Qunut disyari’atkan dalam salat witir. Adapun pada shalat lainnya mereka berpendapat bahwa tidak disyariatkan kecuali terjadi musibah yang dianggap besar, selain dari musibah penyakit. Nah, baru bila terjadi keadaan yang sebagaimana dimaksud barulah bacaan qunut dapat dibaca pada salat lima waktu, kecuali pada hari Jum’at tidak dilakukan.
C. Imam Ahmad
Beliau sendiri memberikan pendapatnya bahwa tidak ditemukan dalil yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad saw. pernah ber-qunut witir sebelum atau pun sesudah ruku’.
D. Ulama Hanafiyyah
Disunnahkan baca doa qunut pada shalat sunnah witir. Namun, tidak disyariatkan membaca qunut pada waktu shalat lainnya, kecuali pada saat nawaazil, yakni dimana kaum muslimin sedang tertimpa musibah, namun demikian pelaksanaan qunut nawaazil ini hanya boleh pada waktu shalat shubuh saja dan yang membacanya adalah imam sholat, lalu diaminkan oleh makmum, dan disebutkan juga bahwa tidak ada qunut jika itu shalatnya sendirian.
Adapun Ulama Malikiyah berpendapat bahwa Qunut hanya dilakukan pada shalat subuh saja, sedang saat sunnah witir dan shalat lainnya tidak dilakukan.
Wallahu A'lam Bishawab
Macam-macam Haji (Ditinjau Dari Pelaksanaannya)
Setiap jamaah bebas untuk memilih jenis ibadah haji yang ingin dilaksanakannya. Rasulullah memberi kebebasan dalam hal itu, sebagaimana terlihat dalam hadis berikut.
خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ فَمِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِعُمْرَةٍ وَمِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِحَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ وَمِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِالْحَجِّ وَأَهَلَّ رَسُولُ اللَّهِ بِالْحَجِّ فَأَمَّا مَنْ أَهَلَّ بِالْحَجِّ أَوْ جَمَعَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لَمْ يَحِلُّوا حَتَّى كَانَ يَوْمُ النَّحْرِ
Artinya:
Aisyah radliallahu ‘anha berkata: “Kami berangkat bersama Nabi SAW pada tahun hajji wada’ (perpisahan). Diantara kami ada yang berihram untuk ‘umrah, ada yang berihram untuk hajji dan ‘umrah dan ada pula yang berihram untuk hajji. Sedangkan Rasulullah SAW berihram untuk hajji. Adapun orang yang berihram untuk hajji atau menggabungkan hajji dan ‘umrah maka mereka tidak bertahallul sampai hari nahar (tanggal 10 Dzul Hijjah) “. (HR. Bukhari)
Berikut adalah jenis dan pengertian haji yang dimaksud.
خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ فَمِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِعُمْرَةٍ وَمِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِحَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ وَمِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِالْحَجِّ وَأَهَلَّ رَسُولُ اللَّهِ بِالْحَجِّ فَأَمَّا مَنْ أَهَلَّ بِالْحَجِّ أَوْ جَمَعَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لَمْ يَحِلُّوا حَتَّى كَانَ يَوْمُ النَّحْرِ
Artinya:
Aisyah radliallahu ‘anha berkata: “Kami berangkat bersama Nabi SAW pada tahun hajji wada’ (perpisahan). Diantara kami ada yang berihram untuk ‘umrah, ada yang berihram untuk hajji dan ‘umrah dan ada pula yang berihram untuk hajji. Sedangkan Rasulullah SAW berihram untuk hajji. Adapun orang yang berihram untuk hajji atau menggabungkan hajji dan ‘umrah maka mereka tidak bertahallul sampai hari nahar (tanggal 10 Dzul Hijjah) “. (HR. Bukhari)
Berikut adalah jenis dan pengertian haji yang dimaksud.
- Haji ifrad, berarti menyendiri. Pelaksanaan ibadah haji disebut ifrad bila sesorang bermaksud menyendirikan, baik menyendirikan haji maupun menyendirikan umrah. Dalam hal ini, yang didahulukan adalah ibadah haji. Artinya, ketika mengenakan pakaian ihram di miqat-nya, orang tersebut berniat melaksanakan ibadah haji dahulu. Apabila ibadah haji sudah selesai, maka orang tersebut mengenakan ihram kembali untuk melaksanakan umrah.
- Haji tamattu', mempunyai arti bersenang-senang atau bersantai-santai dengan melakukan umrah terlebih dahulu di bulan-bulah haji, lain bertahallul. Kemudian mengenakan pakaian ihram lagi untuk melaksanakan ibadah haji, pada tahun yang sama. Tamattu' dapat juga berarti melaksanakan ibadah di dalam bulan-bulan serta di dalam tahun yang sama, tanpa terlebih dahulu pulang ke negeri asal.
- Haji qiran, mengandung arti menggabungkan, menyatukan atau menyekaliguskan. Yang dimaksud disini adalah menyatukan atau menyekaliguskan berihram untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah. Haji qiran dilakukan dengan tetap berpakaian ihram sejak miqat makani dan melaksanakan semua rukun dan wajib haji sampai selesai, meskipun mungkin akan memakan waktu lama. Menurut Abu Hanifah, melaksanakan haji qiran, berarti melakukan dua thawaf dan dua sa'i.
Halaman ini adalah bagian dari rangkaian artikel yang berjudul "Haji & Umrah". Silakan klik tautannya untuk melihat rangkaian artikel Haji dan Umrah lainnya secara lebih lengkap.
Definisi Haji
a. Secara Etimologi
Kata haji (bahasa Arab: حج ) berasal dari bahasa arab yang bermakna tujuan dan dapat dibaca dengan dua lafazh Al-hajj dan Al-Hijj. Menurut etimologi bahasa Arab, kata haji mempunyai arti qashd, yakni tujuan, maksud, dan menyengaja.
b. Secara terminologi syariat
Haji menurut istilah syar’i adalah beribadah kepada Allah dengan melaksanakan manasik yang telah ditetapkan dalam sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan ada pula ulama yang berpendapat: “Haji adalah bepergian dengan tujuan ke tempat tertentu pada waktu yang tertentu untuk melaksanakan suatu amalan yang tertentu pula. Akan tetapi definisi ini kurang pas karena haji lebih khusus dari apa yang didefinisikan di sini, karena seharusnya ditambah dengan satu ikatan yaitu ibadah, maka apa yang ada pada definisi pertama lebih sempurna dan menyeluruh.
Kata haji (bahasa Arab: حج ) berasal dari bahasa arab yang bermakna tujuan dan dapat dibaca dengan dua lafazh Al-hajj dan Al-Hijj. Menurut etimologi bahasa Arab, kata haji mempunyai arti qashd, yakni tujuan, maksud, dan menyengaja.
b. Secara terminologi syariat
Haji menurut istilah syar’i adalah beribadah kepada Allah dengan melaksanakan manasik yang telah ditetapkan dalam sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan ada pula ulama yang berpendapat: “Haji adalah bepergian dengan tujuan ke tempat tertentu pada waktu yang tertentu untuk melaksanakan suatu amalan yang tertentu pula. Akan tetapi definisi ini kurang pas karena haji lebih khusus dari apa yang didefinisikan di sini, karena seharusnya ditambah dengan satu ikatan yaitu ibadah, maka apa yang ada pada definisi pertama lebih sempurna dan menyeluruh.
Referensi: muslim.or.id
Halaman ini adalah bagian dari rangkaian artikel yang berjudul "Haji & Umrah". Silakan klik tautannya untuk melihat rangkaian artikel Haji dan Umrah lainnya secara lebih lengkap.
Hukum - Hukum Perkara Dalam Agama Islam
Hukum-hukum perkara dalam Islam secara garis besar dibagi menjadi lima hal, yaitu wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah. Untuk penjelasan lebih lengkap mengenai hukum-hukum perkara dalam Islam tersebut mari simak ulasan di bawah ini:
1. Wajib/Fardu
adalah amal (perbuatan) yang bila dikerjakan mendapat pahala dan bila ditinggalkan mendapat dosa.
Wajib/ Fardhu dibagi 2, Yaitu ; wajib/fardhu 'Ain dan Wajib/fardhu Kifayah
2. Sunat
adalah amal (perbuatan) yang bila dikerjakan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak berdosa. Sunat dibagi 2, yaitu ; Sunat Muakkad dan Sunat Ghoiru Muakkad.
3. Haram
adalah amal (perbuatan) yang apabila dikerjakan mendapat dosa dan bila ditinggalkan mendapat pahala, misalnya berzina, meminum minuman keras,mencuri, menipu, berdusta, durhaka kepada ibu bapak, dan sebagainya
4. Makruh
adalah amal (perbuatan) yang apabila dikerjakan tidak berdora dan bila ditinggalkan mendapat pahala. Secara singkat, yang disebut makruh adalah suatu perbuatan yang sebaiknya ditinggalkan. Misalnya memakan petai ,jengkol, bawang mentah,dan lain sebagainya.
5. Mubah
adalah amal (perbuatan) yang bila dikerjakan atau ditinggalkan tidak mendapat pahala dan tidak berdosa. Dengan kata lain, amal (perbuatan)yang boleh dikerjakan dan boleh tidak dikerjakan, misalnya makan, minum, tidur, dan sebagainya.
1. Wajib/Fardu
adalah amal (perbuatan) yang bila dikerjakan mendapat pahala dan bila ditinggalkan mendapat dosa.
Wajib/ Fardhu dibagi 2, Yaitu ; wajib/fardhu 'Ain dan Wajib/fardhu Kifayah
- Wajib/Fardhu 'Ainadalah amal (perbuatan) yang harus dikerjakan oleh setiap mukalaf. Fardhu Ain ini disebut juga kewajiban perseorangan yang tidak bisa diwakilkan. Misalnya mengerjakan shalat 5 waktu, puasa Ramadhan,dan sebagainya
- Wajib/Fardhu Kifayah adalah amal (perbuatan) yang cukup dilakukan oleh satu atau beberapa orang mukalaf saja, dan apabila telah dikerjakan maka yang lainnya terbebas dari kewajiban itu. Akan tetapi jika tak ada seorangpun yg melakukannya,maka semua orang mukalaf di daerah (tempat) itu berdosa. Misalnya memandikan jenazah (mayat), mengafani (membungkus), menyembahyangkan dan menguburkannya
2. Sunat
adalah amal (perbuatan) yang bila dikerjakan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak berdosa. Sunat dibagi 2, yaitu ; Sunat Muakkad dan Sunat Ghoiru Muakkad.
- Sunat Muakkad, artinya sunat yang sangat dianjurkan mengerjakannya, karena Rasulullah selalu mengerjakan dan jarang meninggalkannya. Misalnya shalat tarawih, shalat idul fitri dan idul adha,shalat tahajjud, shalat dhuha, dan lain-lain.
- Sunat Ghoiru Muakkad artinxa Sunat yang dianjurkan mengerjakannya,tetapi tidak sepenting sunat muakkad, karena Rasulullah kadang-kadang mengerjakannya kadang-kadang tidak mengerjakannya. Misalnya shalat sunat 2 rakaat sebelum Maghrib, 4 rakaat sebelum Ashar, dan lain-lain.
3. Haram
adalah amal (perbuatan) yang apabila dikerjakan mendapat dosa dan bila ditinggalkan mendapat pahala, misalnya berzina, meminum minuman keras,mencuri, menipu, berdusta, durhaka kepada ibu bapak, dan sebagainya
4. Makruh
adalah amal (perbuatan) yang apabila dikerjakan tidak berdora dan bila ditinggalkan mendapat pahala. Secara singkat, yang disebut makruh adalah suatu perbuatan yang sebaiknya ditinggalkan. Misalnya memakan petai ,jengkol, bawang mentah,dan lain sebagainya.
5. Mubah
adalah amal (perbuatan) yang bila dikerjakan atau ditinggalkan tidak mendapat pahala dan tidak berdosa. Dengan kata lain, amal (perbuatan)yang boleh dikerjakan dan boleh tidak dikerjakan, misalnya makan, minum, tidur, dan sebagainya.
Doa Untuk Orang Tua
َللّهُمَّ اغْفِرْلِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَارْحَمْهُمَاكَمَارَبَّيَانِيْ صَغِيْرَا
"Alloohummaghfirlii waliwaalidayya war hamhumaa kama rabbayaanii shagiiraa"
Artinya :
Ya Tuhanku, ampunilah dosaku dan dosa ayah serta ibuku, kasihilah mereka sebagaimana kasih mereka padaku sewaktu aku masih kecil
"Alloohummaghfirlii waliwaalidayya war hamhumaa kama rabbayaanii shagiiraa"
Artinya :
Ya Tuhanku, ampunilah dosaku dan dosa ayah serta ibuku, kasihilah mereka sebagaimana kasih mereka padaku sewaktu aku masih kecil
Perkara Yang Membatalkan Shalat
Shalat seseorang akan batal apabila ia melakukan/mengalami salah satu di antara hal-hal berikut ini:
- Bila sala satu syarat atau rukunnya tidak dikerjakan atau sengaja tidak dikerjakan.
- Mengalami Hadats Kecil atau Besar
- Terkena najis yang tidak dimaafkan.
- Terbuka auratnya.
- Berkata-kata dengan sengaja walau hanya satu huruf tapi yang memberi pengertian.
- Mengubah niat; misalnya ingin memutuskan shalat.
- Makan atau minum saat shalat walau hanya sedikit.
- Tertawa terbahak-bahak.
- Membelakangi kiblat.
- Mendahului imamnya dua rukun (jika shalat berjamah).
- Murtad (keluar dari Islam).
- Menambah rukun yang berupa perbuatan seperti ruku’ dan sujud.
- Bergerak berturut-turut tiga kali seperti melangkah atau berjalan dengan sengaja.
Waktu-Waktu Shalat Fardu
Salat lima waktu adalah salat yang dikerjakan pada waktu tertentu, sebanyak lima kali sehari. Salat ini hukumnya fardhu 'ain (wajib), yakni wajib dilaksanakan oleh setiap Muslim yang telah menginjak usia dewasa.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu/wajib yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”. (QS. An Nisa’ [4] : 103)
Waktu shalat fardu berbeda-beda pada setiap tempat atau wilayah, bahkan perbedaan ni juga terasa dari waktu ke waktu sebab waktu shalat berkaitan dengan peredaran semu matahari terhadap bumi. Untuk menentukan waktu shalat diperlukan letak geografis, waktu (tanggal), dan ketinggian.
Berikut penjelasan singkat waktu-waktu dan jumlah rakaat sholat fardu
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu/wajib yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”. (QS. An Nisa’ [4] : 103)
Waktu shalat fardu berbeda-beda pada setiap tempat atau wilayah, bahkan perbedaan ni juga terasa dari waktu ke waktu sebab waktu shalat berkaitan dengan peredaran semu matahari terhadap bumi. Untuk menentukan waktu shalat diperlukan letak geografis, waktu (tanggal), dan ketinggian.
Berikut penjelasan singkat waktu-waktu dan jumlah rakaat sholat fardu
- Shalat Subuh, terdiri dari 2 rakaat. Waktu Shubuh diawali dari munculnya fajar shaddiq, yakni cahaya putih yang melintang di ufuk timur. Waktu shubuh berakhir ketika terbitnya matahari.
- Shalat Zuhur, terdiri dari 4 rakaat. Waktu Zhuhur diawali jika matahari telah tergelincir (condong) ke arah barat, dan berakhir ketika masuk waktu Ashar.
- Shalat Ashar, terdiri dari 4 rakaat. Waktu Ashar diawali jika panjang bayang-bayang benda melebihi panjang benda itu sendiri. Khusus untuk madzab Imam Hanafi, waktu Ahsar dimulai jika panjang bayang-bayang benda dua kali melebihi panjang benda itu sendiri. Waktu Asar berakhir dengan terbenamnya matahari.
- Shalat Maghrib, terdiri dari 3 rakaat. Waktu Magrib diawali dengan terbenamnya matahari, dan berakhir dengan masuknya waktu Isya.
- Shalat Isya, terdiri dari 4 rakaat. Waktu Isya diawali dengan hilangnya cahaya merah (syafaq) di langit barat, dan berakhir hingga terbitnya fajar shaddiq keesokan harinya. Menurut Imam Syi'ah, Salat Isya boleh dilakukan setelah mengerjakan Salat Magrib.
Khusus pada hari Jumat, laki-laki muslim wajib melaksanakan salat Jumat di masjid secara berjamaah (bersama-sama) sebagai pengganti Salat Zhuhur. Salat Jumat tidak wajib dilakukan oleh perempuan, atau bagi mereka yang sedang dalam perjalanan (musafir).
Do'a Setelah Shalat
Bacaan do'a setelah shalat bukan bagian dari syarat atau rukun shalat. Namun sebagian besar umat Islam, menyempatkan diri untuk memanjatkan do'a setelah menunaikan shalat fardu.
Do'a berikut ini adalah bacaan do'a sesudah shalat yang dikutip dari buku "Risalah Tuntunan Shalat Lengkap (Drs. Moh. Rifa'i)" Cetakan 2011 Edisi Yang Disepurnakan, dengan sedikit penambahan.
Untuk kesempurnaan do'a, sebaiknya diawali permohonan ampun (istighfar) dan meminta perlindungan kepada Allah SWT, serta bershalawat kepada nabi Muhammad SAW.
اَسْتَغْفِرُ اَللّهَ الْعَظِیْمَ
"Astaghfirullah hal adzim" (3x)
Artinya :
Aku mohon ampun kepada Allah yang Maha Agung (3x)
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
"A’uudzu billahi minasy syaithanir rajim"
Artinya :
Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. حَمْدًا يُوَافِىْ نِعَمَهُ وَيُكَافِئُ مَزِيْدَهُ.
Do'a berikut ini adalah bacaan do'a sesudah shalat yang dikutip dari buku "Risalah Tuntunan Shalat Lengkap (Drs. Moh. Rifa'i)" Cetakan 2011 Edisi Yang Disepurnakan, dengan sedikit penambahan.
اَسْتَغْفِرُ اَللّهَ الْعَظِیْمَ
"Astaghfirullah hal adzim" (3x)
Artinya :
Aku mohon ampun kepada Allah yang Maha Agung (3x)
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
"A’uudzu billahi minasy syaithanir rajim"
Artinya :
Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. حَمْدًا يُوَافِىْ نِعَمَهُ وَيُكَافِئُ مَزِيْدَهُ.
"Bismillaahirrahmaanirrahiim. Alhamdu lillaahi rabbil 'aalamiin. Hamday yu-waafii ni'amahuu wa yukaafi'u maziidah."
Artinya :
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah Tuhan Semesta Alam. Pujian yang sebanding dengan nikmat-nikmatNya dan menjamin tambahannya. Wahai Tuhan kami, bagi-Mu-lah segala puji, dan bagi-Mu-lah segalah syukur, sebagaimana layak bagi keluhuran zat-Mu dan keagungan kekuasaan-Mu.
يَارَبَّنَالَكَ الْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِىْ لِجَلاَلِ وَجْهِكَ وَعَظِيْمِ سُلْطَانِكَ
"Yaa rabbanaa lakalhamdu ka-maa yambaghiilijalaaliwajhika wa 'azhiimisul-thaanik."
Artinya :
Wahai Tuhan kami, bagi-Mu-lah segala puji, sebagaimana layak bagi keluhuran zat-Mu dan keagungan kekuasaan-Mu.
اَللهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ.
"Allaahumma shalliwasallim 'alaa sayyidinaa muhammadiw wa 'alaa aali sayyidinaa muhammad."
Artinya :
Ya Allah, limpahkanlah rahmat dan kesejahteraan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad beserta keluarganya.
اَللَّهُمَّ رَبَّنَا تَـقَـبَّلْ مِنَّا صَلاَتَنَا وَصِيَا مَنَا وَرُكُوْ عَنَا وَسُجُوْدَنَا وَقُعُوْدَنَا وَتَضَرُّ عَنَا وَتَخَشُّوْ عَنَا وَتَعَبُّدَنَا وَتَمِّمْ تَقْصِيْرَ نَا يَا اَلله يَا رَبَّ الْعَا لَمِيْنَ
"Allahumma rabbana taqabbal minna shalatana wa shiyamana wa ruku’ana wa sujudana wa qu’udana wa tadharru’ana wa takhasysyu’ana wa ta’abbudana wa tammim taqshirana ya Allah ya rabbal alamin"
Artinya :
Ya Allah, terimalah shalat kami, puasa kami, rukuk kami, sujud kami, duduk rebah kami, kerendahdirian kami, kekhusyukan kami, pengabdian kami, dan sempurnakanlah apa yang kami lakukan selama kami menunaikan shalat ya Allah, Tuhan seru sekalian alam.
اَللَّهُمَّ أَعِنِّيْ عَلَى ذْكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَا دَ تِكَ
"Allahumma a’inni alaa dzikrika wa syukrika wa husni ibaadatik."
Artinya :
Ya Allah, ya Tuhan kami, tolonglah kami untuk selalu berdzikir mengingat-Mu, dan mensyukuri rahmat dan nikmat-Mu, dan perbaikilah amal ibadah kami kepada-Mu.
رَبَّنَا ضَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْ حَمْنَا لَنَكُوْ نَنَّ مِنَ الْخَا سِرِ يْنَ
"Rabbana zhalamna anfusana wa il-lam taghfir lanaa wa tarhamnaa lanakuunanna minal-khasiriin."
Artinya :
Ya Allah, kami telah menganiaya diri kami sendiri, karena itu Ya Allah, jika tidak dengan limpahan ampunan dan rahmat-Mu niscaya kami akan jadi orang yang sesat. (QS. Al-A’raf [7]: 23)
رَبَّنَا لاَ تُؤَا خِذْنَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْ نَا
"Rabbanaa laa tu’aakhidznaa in nasiina au akhtha’naa."
Artinya :
Ya Allah, ya Tuhan kami, janganlah Engkau menyiksa kami jika kami lupa dan bersalah. (QS. Al-Baqarah [2]: 286)
رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِ يْنَ مِنْ قَبْلِنَا
"Rabbana wa la tahmil ‘alaina ishran kama hamaltahu ‘alal-ladzina min qablina."
Artinya :
Ya Allah Tuhan kami! Janganlah Engkau pikulkan atas diri kami beban yang berat sebagaimana yang pernah Engkau bebankam kepada orang yang terdahulu dari kami. (QS. Al-Baqarah [2]: 286)
رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَا لاَ طَا قَتَا لَنَا بِهِ, وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْلَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَ نَا فَا نْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَا فِرِيْنَ
"Rabbana wa la tuhammilna ma la thaqata lana bihi wa’fu ‘anna waghfirlana warhamna anta maulana fanshurna ‘ala-qaumil-kafirin."
Artinya :
Ya Allah Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan atas diri kami apa yang diluar kesanggupan kami. Ampunilah dan limpahkanlah rahmat ampunan terhadap diri kami. Ya Allah Tuhan kami, berilah kami pertolongan untuk melawan orang yang tidak suka kepada agama-Mu (QS. Al-Baqarah [2]:286)
اَللهُمَّ اِنَّا نَسْئَلُكَ سَلاَمَةً فِى الدِّيْنِ وَعَافِيَةً فِى الْجَسَدِ وَزِيَادَةً فِى الْعِلْمِ وَبَرَكَةً فِى الرِّزْقِ وَتَوْبَةً قَبْلَ الْمَوْتِ وَرَحْمَةً عِنْدَ الْمَوْتِ وَمَغْفِرَةً بَعْدَ الْمَوْتِ. اَللهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا فِىْ سَكَرَاتِ الْمَوْتِ وَالنَّجَاةَ مِنَ النَّارِ وَالْعَفْوَ عِنْدَ الْحِسَابِ.
"Allaahumma innaa nas’aluka salaamatan fiddiin. Wa ‘aafiya-tan fil jasadi wa ziyaadatan fil ‘ilmi wa barakatan firrizqi wa taubatan qablal maut wa rahmatan ‘indalmaut wa maghfiratan ba’dal maut. Allaahumma hawwin ‘alainaa fii sakaraatil maut wan najaata minan naari wal ‘afwa ‘indal hisaab."
Artinya :
Ya Allah, ya Tuhan kami, kami mohon keselamatan agama, kesehatan jasmani, bertambahnya ilmu, dan keberkahan rezeki, dapat bertaubat sebelum mati, mendapat rahmat ketika mati, dan memperoleh ampunan setelah mati. Ya Allah, ya Tuhan kami, mudahkanlah kami dalam menghadapi sakaratul maut, Ya Allah, bebaskanlah kami dari azab neraka, serta memperoleh ampunan ketika dihisab.
رَبَّنَا لاَ تُزِغْ قُلُوْ بَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَ يْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَّدُ نْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
"Rabbana la tuzigh qulubana ba’da idz hadaitana wahab lana min ladunka rahmatan innaka antal-wahhab."
Artinya :
Ya Allah Tuhan kami, janganlah Engkau sesatkan kami sesudah mendapatkan petunjuk, berilah kami karunia. Engkaulah Yang Maha Pemurah” (QS. Ali Imran [3]:8)
رَبَّنَا لَا تَجْعَلْنَا فِتْنَةً لِّلَّذِينَ كَفَرُوا وَاغْفِرْ لَنَا رَبَّنَا إِنَّكَ أَنتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
"Rabbana la taj'alna fitnatal lilladhina kafaru waghfir lana Rabbana innaka antal 'Azizul-Hakim"
Artinya :
Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan kami (sasaran) fitnah bagi orang-orang kafir. Dan ampunilah kami ya Tuhan kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS. Al Mumtahanah Imran [60]:5)
رَبَّنَا غْفِرْلَنَا وَلِوَالِدِيْنَ وَلِجَمِيْعِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ أَلْأَ حْيَآءِمِنْهُمْ وَاْلأَ مْوَاتِ, اِنَّكَ عَلَى قُلِّ ثَيْءٍقَدِيْرِ
"Rabbanaghfir lana wa li walidina wa li jami’il-muslimina wal-muslimati wal-mu’minina wal-mu’minati al-ahyai minhum wal amwat innaka ‘ala kulli syai in qadir."
Artinya :
Ya Allah, ya Tuhan kami, ampunilah dosa kami dan dosa-dosa orang tua kami, dan bagi semua Muslim laki-laki dan perempuan dan mukmin laki-laki dan perempuan yang masih hidup maupun yang sudah mati. Sesungguhnya Engkau Zat Yang Maha Kuasa atas segala-galanya.
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَا جِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَا جْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ إِمَامًا
"Rabbana hablana min azwajina wa dzurriyyatina qurrata a’yuniw-waj’alna lil-muttaqina imama. "
Artinya :
Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kami istri/suami/keluarga dan keturunan kami sebagai penyenang hati dan jadikan kami pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa" (QS. Al-Furqan [25]: 74)
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآ خِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
"Rabbana atina fid-dunya hasanatan wa fil-akhirati hasanataw wa qina “adzaban-nar."
Artinya :
Ya Allah, Tuhan kami, berilah kami kebahagiaan di dunia dan kesejahteraan di akhirat, dan hindarkanlah kami dari siksaan api neraka" (Doa Sapu Jagat, QS. Al-Baqarah [2]: 201)
اَللّٰهُمَّ اغْفِرْلَنَاذُنُوْبَنَاوَكَفِّرْعَنَّاسَيِّأٰتِنَاوَتَوَفَّنَامَعَالْاَبْرَارِ
"Allahummaghfir lanaa dzunuubanaa wa kaffir 'annaa sayyi'aatinaa watawaffanaa ma'al abraar''
Artinya :
Ya Allah ampunilah dosa kami dan tutupilah segala kesalahan kami, dan semoga jika - kami mati nanti bersama – sama dengan orang – orang yang baik – baik.
اَللّٰهُمَّ اغْفِرْلَنَاذُنُوْبَنَاوَكَفِّرْعَنَّاسَيِّأٰتِنَاوَتَوَفَّنَامَعَالْاَبْرَارِ
"Allahummaghfir lanaa dzunuubanaa wa kaffir 'annaa sayyi'aatinaa watawaffanaa ma'al abraar''
Artinya :
Ya Allah ampunilah dosa kami dan tutupilah segala kesalahan kami, dan semoga jika - kami mati nanti bersama – sama dengan orang – orang yang baik – baik.
رَبِّ ا جْعَلْنِيْ مُقِيْمَ الصَّلاَةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِيْ رَبَّنَا وَ تَقَبَّلْ دُعَآءِ
"Rabbij’alni muqimash-shalati wa min dzurriyyati rabbana wa taqabbal du’a’."
Artinya :
Ya Tuhan kami, jadikanlah aku dan anak cucuku, orang-orang yang mendirikan shalat. Ya Tuhan kami, perkenankanlah doa kami. (QS. Ibrahim [14]: 40)
وَأَدْخِلْنَا الجَنَّةَ مَعَ اْلأَبْرَارِ, يَا عَزِيْزُ يَا غَفَّارُ يَا رَبَّ الْعَا لَمِيْنَ
"Wa adkhilnal-jannata ma’al-abrar ya ‘azizu ya gaffaru ya rabbal-‘alamin."
Artinya :
Masukkanlah kami ke dalam surga bersama orang-orang yang berbuat baik, Wahai Tuhan Yang Maha Mulia, Maha Pengampun dan Tuhan yang menguasai seluruh alam.
سُبْحَانَ رَبِّكِ رَبِّ الْعِزَةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْ سَلِيْنَ، وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
"Subhaana rabbika rabbil-izzati ‘ammaa yashifuun, wa salaamun ‘alal-mursaliina wal-hamdu lillaahi rabbil-aalamin."
Artinya :
Maha Suci Engkau, Tuhan segala kemuliaan, suci dari segala apa yang dikatakan oleh orang-orang kafir. Semoga atas kesejahteraan atas para Rasul dan segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam.
Do’a Setelah Turun Hujan
مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ
"Muthirna bi fadhlillahi wa rohmatih"
Artinya:
Kita diberi hujan karena karunia dan rahmat Allah (HR. Bukhari, HR. Muslim)
= = = = = = = = = = = = = = = = =
Penjelasan
Dari Zaid bin Kholid Al Juhani, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat shubuh bersama kami di Hudaibiyah setelah hujan turun pada malam harinya. Tatkala hendak pergi, beliau menghadap jama’ah shalat, lalu mengatakan, ”Apakah kalian mengetahui apa yang dikatakan Rabb kalian?” Kemudian mereka mengatakan,”Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِى مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ. فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ وَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا. فَذَلِكَ كَافِرٌ بِى مُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ
“Pada pagi hari, di antara hambaKu ada yang beriman kepadaKu dan ada yang kafir. Siapa yang mengatakan ’Muthirna bi fadhlillahi wa rohmatih’ (Kita diberi hujan karena karunia dan rahmat Allah), makadialah yang beriman kepadaku dan kufur terhadap bintang-bintang. Sedangkan yang mengatakan "Muthirna binnau kadza wa kadza" (Kami diberi hujan karena sebab bintang ini dan ini), maka dialah yang kufur kepadaku dan beriman pada bintang-bintang.” (HR. Bukhari dan Muslim).
"Muthirna bi fadhlillahi wa rohmatih"
Artinya:
Kita diberi hujan karena karunia dan rahmat Allah (HR. Bukhari, HR. Muslim)
= = = = = = = = = = = = = = = = =
Penjelasan
Dari Zaid bin Kholid Al Juhani, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat shubuh bersama kami di Hudaibiyah setelah hujan turun pada malam harinya. Tatkala hendak pergi, beliau menghadap jama’ah shalat, lalu mengatakan, ”Apakah kalian mengetahui apa yang dikatakan Rabb kalian?” Kemudian mereka mengatakan,”Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِى مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ. فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ وَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا. فَذَلِكَ كَافِرٌ بِى مُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ
“Pada pagi hari, di antara hambaKu ada yang beriman kepadaKu dan ada yang kafir. Siapa yang mengatakan ’Muthirna bi fadhlillahi wa rohmatih’ (Kita diberi hujan karena karunia dan rahmat Allah), makadialah yang beriman kepadaku dan kufur terhadap bintang-bintang. Sedangkan yang mengatakan "Muthirna binnau kadza wa kadza" (Kami diberi hujan karena sebab bintang ini dan ini), maka dialah yang kufur kepadaku dan beriman pada bintang-bintang.” (HR. Bukhari dan Muslim).
sumber : Rumaysho.Com
Do’a Ketika Turun Hujan
اللَّهُمَّ صَيِّباً نَافِعاً
"Allahumma shoyyiban nafi’an"
Artinya:
Ya Allah turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat (HR. Bukhari)
= = = = = = = = = = = = = = = = =
Penjelasan:
Dari Ummul Mukminin, ’Aisyah radhiyallahu ’anha,
إِنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا رَأَى الْمَطَرَ قَالَ اللَّهُمَّ صَيِّباً نَافِعاً
"Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ketika melihat turunnya hujan, beliau mengucapkan, "Allahumma shoyyiban nafi’an" [Ya Allah turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat]". (HR. Bukhari no. 1032)
Ibnu Baththol mengatakan, ”Hadits ini berisi anjuran untuk berdo’a ketika turun hujan agar kebaikan dan keberkahan semakin bertambah, begitu pula semakin banyak kemanfaatan.” (Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, 5: 18, Asy Syamilah)
"Allahumma shoyyiban nafi’an"
Artinya:
Ya Allah turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat (HR. Bukhari)
= = = = = = = = = = = = = = = = =
Penjelasan:
Dari Ummul Mukminin, ’Aisyah radhiyallahu ’anha,
إِنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا رَأَى الْمَطَرَ قَالَ اللَّهُمَّ صَيِّباً نَافِعاً
"Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ketika melihat turunnya hujan, beliau mengucapkan, "Allahumma shoyyiban nafi’an" [Ya Allah turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat]". (HR. Bukhari no. 1032)
Ibnu Baththol mengatakan, ”Hadits ini berisi anjuran untuk berdo’a ketika turun hujan agar kebaikan dan keberkahan semakin bertambah, begitu pula semakin banyak kemanfaatan.” (Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, 5: 18, Asy Syamilah)
sumber: Rumaysho.Com
Rukun Iman Keenam: Beriman Kepada QADLA dan QADAR (Hinggaan Tuhan Allah)
Kita wajib percaya bahwa segala sesuatu yang telah terjadi dan yang akan terjadi, semuanya itu, menurut apa yang ditentukan dan ditetapkan oleh Tuhan Allah, sejak sebelumnya (zaman azali). Jadi segala sesuatu itu (nasib baik dan buruk) sudah diatur dengan rencana-rencana tertulis atau batasan-batasan yang tertentu. Tetapi kita tidak dapat mengetahuinya sebelum terjadi. Rencana sebelumnya itu Qadar atau Takdir artinya hinggaan. Terlaksananya berupa kenyataan, dinamakan Qadla artinya keputusan perbuatan (pelaksanaan). Sebagian Ulama’ menamakan takdir itu qadla dan qadar.
Jadi segala sesuatu terjadi dengan Qudrat dan Iradat-Nya, yang sesuai dengan qadla’ dan qadar-Nya. Maka, dalam hakekatnya, 'Kebetulan' itu tidak ada. Keterangan-keterangan tentang hal itu di dalam al-Qur’an, banyak antara lain sebagai berikut:
مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
"Maa ashaaba min mushiibatin fii al-ardhi walaa fii anfusikum illaa fii kitaabin min qabli an nabra-ahaa inna dzaalika 'alaa allaahi yasiirun"
Artinya:
“Tiadalah sesuatu bencana yang menimpa bumi dan pada dirimu sekalian, melainkan sudah tersurat dalam kitab (Lauh Mahfudh) dahulu sebelum kejadiannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”. (al-Hadid: 22).
وَكُلُّ شَيْءٍ عِندَهُ بِمِقْدَارٍ“Tiadalah sesuatu bencana yang menimpa bumi dan pada dirimu sekalian, melainkan sudah tersurat dalam kitab (Lauh Mahfudh) dahulu sebelum kejadiannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”. (al-Hadid: 22).
"Wakullu syay-in 'indahu bimiqdaarin"
Artinya:
“Dan segala sesuatu, bagi Tuhan telah ada hingganya (jangkauannya)”. (ar-Ra’d:8).
قُل لَّن يُصِيبَنَا إِلاَّ مَا كَتَبَ اللّهُ لَنَا
"Qul lan yushiibanaa illaa maa kataba allaahu lanaa..."
Artinya:
“Katakanlah (Muhammad): Tiada sekali-kali akan ada bencana mengenai kami, melainkan hanya apa yang ditentukan oleh Allah bagi kami.” (al-Baraah: 51).
وَالَّذِي قَدَّرَ فَهَدَى“Katakanlah (Muhammad): Tiada sekali-kali akan ada bencana mengenai kami, melainkan hanya apa yang ditentukan oleh Allah bagi kami.” (al-Baraah: 51).
"Wa l-ladzii qaddara fahadaa"
Artinya:
“Dan (Tuhanmu) yang telah menentukan, kemudian menunjukkan”. (al-A’la: 3).
Sumber: dari Gus Arland, dari Retno Wahyudiaty, SE. - Jakarta 2002, karya Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)
Subscribe to:
Posts (Atom)