Jika jenazah itu laki-laki maka harus dimandikan oleh orang laki-laki dan yang lebih utama memandikanya adalah keluarganya. Jika tidak ada keluarganya atau tidak mampu memandikannya maka dimandikan oleh orang lain yang biasa memandikan mayat. Jika tidak ada orang laki-laki maka yang boleh memandikan mayat laki-laki adalah istrinya dan setelah itu mahram-mahramya yang perempuan.
Sebaliknya jika jenazah itu perempuan maka yang memandikannya harus perempuan dan yang lebih utama memandikanya adalah keluarganya. Jika tidak ada keluarganya atau tidak mampu memandikanya maka dimandikan oleh orang perempuan lain yang biasa memandikan mayat. Jika tidak ada orang perempuan maka yang memandikanya adalah suaminya dan setelah itu mahram-mahramya yang laki laki.
Adapun tata cara memandikan yang paling sempurna adalah sebagai berikut:
- Mayit diletakkan di tempat yang tinggi seperti dipan atau balai agar tidak terkena percikan air atau basuhan yang telah mengalir dari tubuhnya dengan posisi tidur terlentang seraya menghadap Kiblat, Tengkuk diangkat sedikit agar air dapat mengalir
- Dimandikan di tempat yang tertutup dan tidak boleh ada yang masuk kecuali yang memandikan dan pembantunya dan caranya agar tubuh mayat ditutup atau dilapisi dengan kain tipis agar auratnya atau sesuatu yang buruk dalam tubuhnya tidak terlihat.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: لَمَّا أَرَادُوا غَسْلَ اَلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا: وَاَللَّهِ مَا نَدْرِي أَ نُجَرِّدُ رَسُولَ اَللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا نُجَرِّدُ مَوْتَانَا, أَمْ لَا؟ فَلَمَّا اخْتَلَفُوا أَلْقَى اللَّهُ عَلَيْهِمُ النَّوْمَ حَتَّى مَا مِنْهُمْ رَجُلٌ إِلَّا وَذَقْنُهُ فِي صَدْرِهِ ثُمَّ كَلَّمَهُمْ مُكَلِّمٌ مِنْ نَاحِيَةِ الْبَيْتِ لَا يَدْرُونَ مَنْ هُوَ أَنِ اغْسِلُوا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِ ثِيَابُهُ (رواه الشيخان)
Dari Aisyah ra, ia berkata: Ketika para sahabat ingin memandikan jenazah Rasulullah saw, mereka berbeda pendapat. Mereka berkata: “Kami tidak tahu apakah kami membuka pakaiannya sebagaiman kami membuka pakaian saudara2 kami yang meninggal?”. Ketika mereka sedang berselisih pendapat, Allah telah menidurkan mereka sampai sampai dagu mereka tertunduk ke dada. Kemudian berkata seseorang dari sebelah rumah dan mereka tidak mengetahui siapa dia, dia berkata: Mandikanlah Nabi dengan berpakaian. (HR Bukhari Muslim)
- Apabila ketika memandikan melihat sesuatu yang bagus pada diri mayat, maka boleh untuk dibicarakan. Namun sebaliknya apabila melihat sesuatu yang buruk pada diri mayit, maka tidak boleh dibicarakan, sebab hal itu termasuk ghibah.
- Pada waktu memandikan diusahakan bagi yang memandikan dan pembantunya sedapat mungkin tidak melihat pada aurat mayat. Sebagimana tidak boleh melihat aurat orang hidup maka bagi yang sudah mati lebih mulia untuk tidak dilihatnya
- Dimandikan dengan air bersih dan dingin dicampur dengan bidara
- Perut mayit ditekan dengan tangan kiri agar kotoran yang ada di dalam perutnya keluar, atau dengan cara didudukan. Kemudian menuangkan air dan membersihkan kotoran. Hal ini dilakukan agar kotoran tidak keluar lagi setelah dimandikan.
- Mayat direbahkan telentang kembali untuk dibersihkan aurat depan dan belakangnya, dan daerah sekitarnya dengan tangan kiri yang telah terbungkus kain
- Kemudian mengambil kain berikutnya untuk membersihkan gigi dengan jari telunjuk dan membersihkan lubang hidungnya dari kotoran.
- Mayat di-wudlu-kan sebagaimana orang yang masih hidup dengan melaksanakan rukun dan sunah wudhu. Dan yang perlu diperhatikan adalah ketika berkumur atau saat memasukkan air ke hidung, jangan sampai air masuk ke dalam yaitu dengan cara kepala mayit hendaknya agak diangkat.
- Membasuh kepala, jenggot mayat juga dibasuh dan disisir perlahan-lahan. Jika ada rambut yang rontok sunnat diambil dan nanti diletakkan di dalam kain kafan.
- Kemudian membasuh anggota badan depan mayat yang sebelah kanan mulai dari leher sampai ujung kakinya. Kemudian dilanjutkan pada bagaian yang sebelah kiri.
- Mayit dimiringkan ke kiri untuk dibasuh bagian belakang mulai dari tengkuk sampai ujung kaki. Kemudian dimiringkan ke kanan untuk dibasuh bagian yang sebelahnya. Semua basuhan di atas disunnatkan memakai air bidara atau sejenisnya
- Basuhan kedua memakai air murni (tanpa campuran) sebagai pembilas (pembersih). Pembasuhan ini dilakukan dari kepala sampai ke kaki sebanyak tiga kali
- Basuhan ketiga memakai air yang sudah dicampur sedikit kapur barus yang sekira tidak sampai merubah keadaan air, begitu pula pembasuhan ini dilakukan tiga kali
عَنْ أُمّ عَطِيَّة الْأَنْصَارِيَّة رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قالت دَخَلَ عَلَيْنَا رَسُولَ اَللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِين تُوُفِّيَتْ اِبْنَتُهُ فَقَالَ اِغْسِلْنَهَا ثَلَاثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ أَكْثَر مِنْ ذَلِكَ إِنْ رَأَيْتُنَّ ذَلِكَ بِمَاءٍ وَسِدْر وَاجْعَلْنَ فِي الْآخِرَة كَافُورًا أَوْ شَيْئًا مِنْ كَافُور فَإِذَا فَرَغْتُنَّ فَآذِنَّنِي فَلَمَّا فَرَغْنَا آذْنَاهُ فَأَعْطَانَا حَقْوَهُ فَقَالَ أَشْعِرْنَهَا إِيَّاهُ تَعْنِي إِزَارَهُ وَفِي رِوَايَةٍ اِبْدَأْنَ بِمَيَامِنِهَا وَ مَوَاضَعِ الوُضُوْءِ مِنْهَا (رواه الشيخان)
Dari Ummu ‘Athiyyah ra “Nabi menemui kami sedangkan kami kala itu tengah memandikan putrinya (zainab), lalu beliau bersabda: Mandikanlah dia tiga kali, lima kali, atau lebih dari itu. Jika kalian memandang perlu, maka pergunakan air dan daun bidara. Dan buatlah di akhir mandinya itu tumbuhan kafur atau sedikit darinya. Dan jika kalian sudah selesai memandikannya, beritahu aku. Setelah selesai memandikan kami pun memberitahu beliau. Maka beliau melemparkan kain kepada kami seraya bersabda: pakaikanlah ini sebagai penutup tubuhnya. Ia berkata: Beliau bersabda: mulailah dengan anggota tubuhnya yang kanan serta anggota-anggota wudhunya.”. (HR. Bukhari Muslim)
- Dilunakkan sendi-sendinya agar mudah disiapkan dalam pengafanan.
- Lalu dikeringkan tubuhnya dengan handuk dengan seksama sampai tidak ada lagi air di tubuhnya yang bisa membasahi kafannya.
Keterangan (Ta’liq):
- Jika tidak ada laki laki yang memandikan mayat laki laki atau tidak ada perempuan yang memandikan mayat perempuan, maka mayat dikafankan tanpa dimandikan hanya cukup ditayamumkan, hal ini demi kehormatan mayat agar tidak dilihat auratnya karena haram seorang laki laki melihat atau menyentuh aurat perempuan yang bukan mahramnya dan begitu pula sebaliknya.
- Banyak orang yang tidak tepat dalam mengartikan mahram dan muhrim:
- Mahram adalah orang yang tidak batal wudhu jika disentuh dan tidak boleh dinikahi.
- Muhrim adalah orang yang berihram waktu melakukan haji atau umrah