Urgensi Adanya Pemimpin Umat

Oleh: Nunang Fathurrahman, MAg
Disampaikan pada pertemuan dengan para tokoh masyarakat
di Bandar Lampung, Des ‘06

Perjalanan manusia dalam kehidupan di dunia ini telah dilengkapi dengan fasilitas ‘buku petunjuk’ dari Allah SWT. Buku petunjuk itu merupakan suatu pedoman atau konsep besar untuk meraih keselamatan dan kebahagiaan. Konsep besar ini diturunkan melalui kepemimpinan yang telah dirancang-Nya.
Kalau kita amati, Dienul Islam tidak dibawa hanya oleh Nabi Muhammad Saw saja, tapi telah diusung sejak Nabi Adam As hingga disempurnakan pada masa Nabi Muhammad Saw.
Jelasnya Dienul Islam diturunkan disertai pemimpin, pembimbing yang ditunjukkan Allah SWT. Mereka semua hadir di tengah-tengah umat sebagai kepanjangan tangan kebijakan Allah di muka bumi. Pasca Nabi Muhammad Saw, risalah ini tetap berjalan. Allah pertahankan lewat para pewaris-Nya.
Dalam suatu hadits yang panjang Nabi Saw menceritakan bahwa umat terdahulu diturunkan para Nabi di setiap masa hingga kepadaku. Tetapi setelahku tidak ada lagi Nabi. Yang ada adalah para pengganti (Khalifah)ku.
Keberadaan para khalifah di setiap zaman akan terus berlangsung hingga datangnya hari kiamat. Al-Quran mengisyaratkan:

Walikulli qowmin haad.
“Dan bagi tiap-tiap kaum itu ada orang memberi petunjuk” (Ar-Ra’d: 7)

Walikullli ummatir Rosuul.
“Di setiap umat itu mempunyai utusan (Allah)” (Yunus: 47)
Keberadaan Dien ini dipertahankan dan selalu diperbaharui oleh pemimpin umat (khalifah) di setiap zaman. Umat Islam yang ditinggalkan oleh masa Kenabian 15 abad yang lampau saat ini terbagi menjadi 2 bagian: (pertama) yang tidak terbimbing, dan (kedua) yang yang mendapatkan bimbingan Mursyid (terpimpin).
Hendaknya umat saat ini mencari pemimpin yang membawanya kepada jalan yang lurus. Sabda Nabi Saw:

Wamam maata bighoyri imaam maata miitatan jaahiliyyah
“Barang siapa yang mati tanpa (mempunyai) seorang imam, maka ia mati dalam keadaan jahiliyyah”. (HR. Ahmad)
Hadits ini menunjukkan wajibnya seorang muslim mencari seorang pembimbing dalam menjalankan ibadah.
Jika kita berkesimpulan bahwa Dienul Islam sebagai konsep besar yang diturunkan beserta kepemimpinannya, maka pengetahuan-pengetahuan seperti: matematika, fisika, biologi, kimia, dsb. merupakan konsep-konsep pengetahuan yang kecil (mikro). Konsep pengetahuan mikro sendiri memerlukan pembimbing, penuntun yang mengearahkan kepada teori dan aplikasinya. Bagaimana mungkin kita berprinsip bahwa untuk menjalankan konsep mikro perlu seorang pembimbing, sedangkan konsep makro tidak membutuhkannya?
Kita akan mendapatkan kesulitan apabila kita mempelajari satu disiplin ilmu tanpa seorang instruktur / Pembina. Resiko yang lebih besar dan rumit akan muncul apabila kita mempelajari konsep besar (yang dapat menyelamatkan kita di dunia dan akhirat) tanpa seorang pembimbing.
Umar bin Khathab dalam sebuah khutbahnya berkata:

Tidak sempurna Islam apabila tidak ada ikatan berjama’ah. Tidak dikatakan berjama’ah apabila tidak memiliki seorang imam (pemimpin). Tidak pula berarti kepemimpinan itu apabila tidak ada unsur ketaatan. Dan tidak ada nilai ketaatan melainkan dengan bai’at (janji setia). (Maushu’ah Umar bin Khatthab Ra.)

Islam harus ditegakkan dengan berjama’ah. Konsep berjama’ah dalam peribadatan mempunyai nilai yang jauh lebih tinggi daripada munfarid (ibadah sendiri). Shalat berjama’ah menurut apa yang diungkapkan dalam suatu hadits lebih utama 27 derajat daripada shalat sendiri. Rasulullah Saw pernah ditahan ruku’nya oleh malaikat Jibril As ketika ada seorang sahabat yang tertinggal shalat Shubuh berjama’ah. Hal ini menandakan bahwa betapa pentingnya shalat berjama’ah.
Berjama’ah pun tidak berarti jika tidak memiliki seorang imam (pemimpin). Diibaratkan apabila sekumpulan orang telah siap melakukan shalat berjama’ah hingga beratus bahkan beribu-ribu shaf, tidak ada artinya jika di depannya tidak ada seorang imam. Berjama’ah harus ada seorang imam. Adanya makmum menghendaki adanya seorang imam. Jumlah imam pun harus satu, bukan lebih dari itu.
Imam tidak pula berarti jika tidak ditaati. Sebagai contoh adalah pada waktu shalat berjama’ah, gerakan shalat imam harus diikuti oleh makmum di belakangnya. Adalah tidak sah nilai berjama’ahnya itu apabila seorang imam sedang sujud, sedangkan makmum tetap pada posisi ruku atau berdiri (yakni tidak mengikutinya).
Ketaatan harus diikat melalui perjanjian (untuk mengikuti imam). Seseorang yang hendak shalat berjama’ah, mesti menancapkan dalam hatinya untuk berniat mengikuti imam. Niat inilah yang dikatakan sebagai ikatan hubungan kerja antara makmum dengan imam. Apabila dalam hatinya tidak berniat mengikuti imam, maka batallah berjama’ahnya. Demikian pula seseorang apabila mengikuti seorang pemimpin, pemimpin mesti mengetahui I’tikad dan kesungguhan orang yang ingin mengikutinya. Sebab hubungan tanpa ikatan kerja adalah hubungan yang tidak bermakna apa-apa, karena tidak mempunyai unsur tanggung jawab di dalamnya.
Kepemimpinan seluruh Rasul Allah diangkat oleh Allah SWT, tidak seperti kekuasaan Insaniyyah yang dibangun melalui kepercayaan kebanyakan manusia (demokrasi).
Kepemimpinan Ilahiyyah, yakni para Nabi dan Pewarisnya dibentuk melalui suatu proses ujian yang hanya Allah saja yang mengetahui hasilnya. Petikan ayat berikut membuktikan hal itu:

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia".
Proses ujian yang diberikan Allah SWT menyebabkan sifat keteguhan dalam kesabaran muncul pada diri orang-orang pilihan. Dan Allah memilih para Utusan-Nya dengan kriteria-kriteria yang dikehendaki-Nya, meski para Utusan-Nya itu disukai atau tidak oleh umatnya. Sejarah mencatat bahwa pengikut setia Nabi Isa As hanya berjumlah 12 orang, yang disebut dalam Al-Quran sebagai kaum Hawariyyun. Begitulah keadaan para Pewaris Nabi di setiap zaman. Para pewaris inipun diangkat oleh Allah SWT lewat ruhani Rasulullah Saw (istikhlaf / mandat). Inilah yang dinamakan kepemimpinan yang dibangun oleh Allah SWT. Istilah orang yang terpilih adalah ‘Al-Mushthofa’. Seperti yang dikemukakan dalam Surat Fathir:

Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, ….. (Q.S. Fathir: 32)
Jangankan perjalanan dunia – akhirat, dalam perjalanan (musafir) jarak pendek saja di dunia memerlukan guide (penunjuk jalan).
Di sisi lain perjalanan kehidupan manusia hari demi hari semakin besar tanggung jawabnya. Pada awal kehidupan seorang manusia di muka bumi, ia cukup mengandalkan tangis untuk menghendaki berbagai kebutuhannya berupa makan, kehangatan, kenyamanan, dsb. Karena manusia pada mulanya (bayi) begitu lemah, dan sangat rendah nilai tanggung jawabnya.
Perjalanan waktu menyebabkan manusia tidak dapat mengubah arah waktu ke belakang atau diam. Masa terus bergerak ke depan, dan apapun yang berada di hadapannya manusia tidak bisa menghindar. Ia tidak mampu mengelak dari tanggung jawab yang bertambah terus semakin hari. Belum termasuk waktu-waktu ‘istimewa’ yang akan kita jalani seperti sakaratul maut, alam barzakh, padang mahsyar, hingga mengahadap Allah SWT. Perjalanan yang senantiasa diiringi nilai tanggung jawab yang besar ini akan menyentuh puncak penderitaan manakala tidak ada seorangpun yang mau menjadi penolongnya. Penolong (Sulthan Nashiro) di sini adalah seorang pemimpin.
Anda bertanya, lewat pintu gerbang manakah kita dapat masuk kepada bangunan kepemimpinan Ilahiyyah. Al-Idrisiyyah, jawabannya.
Al-Idrisiyyah hanya merupakan sebuah nama untuk memudahkan Anda menuju kepemimpinan dalam Birokrasi Ilahiyyah. Yayasan Al-Idrisiyyah hanya ‘tangan operasional’ kepemimpinan dimaksud.
Kami menyampaikan apa yang telah kami terima, berupa Haq (kebenaran). ‘Dan kebenaran adalah dari Tuhan, maka janganlah kita menjadi orang-orang yang ragu’. (Q.S. Al-Baqarah: 147)